Mengenang 212 dan Sore di Kota Tua - Podium.com

Jumat, 20 April 2018

Mengenang 212 dan Sore di Kota Tua


Rangkaian acara the 16th Journalis Days yang diadakan Badan Otonom Economica FEB UI akhirnya telah selesai. Selama 4 hari penuh kami menjalani jadwal yang padat dan cukup melelahkan. Sebagaimana lazimnya pertemuan yang akan bermuara pada perpisahan, tentu saja ada rasa sedih tatkala harus berpisah dengan teman-teman yang sudah seperti saudara sendiri. Meski baru mengenal mereka dalam waktu kurang lebih 4 x 24 jam, namun rasa-rasanya telah terjalin hubungan yang erat.

Suasana sore hari di FEB UI kami habiskan dengan berfoto bersama serta bersenda gurau. Tak lupa juga berpamitan dengan seluruh panitia yang sudah melayani dengan setulus hati. Jarak yang jauh memisahkan kami, mungkin akan benar-benar menjadi penghambat untuk bisa bersua kembali. Namun semoga saja ada saatnya untuk bertemu lagi.

(sampai jumpa lagi kawan-kawan)

Meski acara telah berakhir, aku dan temanku masih belum memesan tiket pesawat untuk pulang. Beberapa hari yang lalu, ketika kami mengenal Ical yang memang satu kamar dengan kami, serta Endang yang merupakan partner Ical, kami telah merencakan untuk pergi ke beberapa objek wisata di Kota Jakarta. Alasannya simpel, kami yang datang jauh-jauh dari Kalimantan dan Makassar ini, rasanya rugi jika tidak berlibur ke Jakarta. Jarak antara Depok dan Jakarta juga tak terlalu jauh. Memang di hari ketiga kami mengikuti training di Jakarta, namun itu bukanlah sebuah liburan. Bermodal nekad, kami pun menyusun rencana.

Ada banyak sekali pilihan tempat wisata yang ingin kami kunjungi. Mulai dari Monas, Ancol, TMII, Masjid Istiqlal, Ragunan, Kota Tua dan lain-lain. Dari beberapa pilihan tersebut terpaksa kami kerucutkan untuk menyesuaikan dengan waktu yang kami punya. Akhirnya disepakati tempat yang akan kami tuju adalah Monas, Masjid Istiqlal, dan Kota Tua.

Pagi Jumat kami segera mengemas barang-barang dari Margonda Residence. Selama di Jakarta, nantinya kami akan menginap di rumah Mas Towik yang merupakan kenalan Endang. Alamatnya ada di Jeruk Purut. Setelah selesai berkemas, kami turun ke bawah untuk menyerahkan kunci dan menunggu Grab datang menjemput.

Perjalanan kami lalui dengan hati yang senang. Selama di mobil, ku lihat hanya aku dan sang sopir yang tetap terjaga. Tiga orang lainnya tertidur ayam. Mungkin karena masih kecapaian. Aku sendiri sengaja tidak tidur karena ingin melihat secara langsung Kota Jakarta. Di beberapa tempat, aku sengaja membuka kaca mobil agar bisa melihat dengan lebih jelas.

Kami akhirnya sampai di rumah mas Towik meski sebelumnya sempat bingung mencari lokasinya. Rumah mas Towik berada tepat di samping pekuburan Jeruk Purut. Meski kuburan, nyatanya tempat itu sangat rapi dan terawat. Rumput-rumput hijau tumbuh subur sehingga lebih mirip seperti taman. Setelah menaruh barang-barang di kamar atas, kami kemudian disuguhkan makan. Karena memang sudah lapar, kami sikat saja semua makanannya. Perjalanan yang cukup panjang nantinya juga menuntut kami untuk punya cadangan tenaga yang lebih.

Tempat utama yang kami datangi adalah Monas. Kami kesana menaiki Grab. Kemacetan tak terhindarkan sehingga kami baru bisa sampai disana sekitar pukul 12.30 atau mendekati waktu solat Jumat. Dengan waktu yang terbatas itu, kami manfaatkan semaksimal mungkin untuk menikmati kawasan Monas yang begitu luas. Di depan kami, tugu Monas berdiri gagah seolah menopang langit.

(Ibul, Fadil, dan Ical) 

Tak terasa waktu solat Jumat semakin dekat. Awalnya kami ingin menunaikan solat Jumat di Masjid Istiqlal. Namun mengingat waktu yang semakin mepet dan jarak ke Istiqlal cukup memakan waktu, akhirnya kami solat Jumat di masjid yang ada di kawasan Lenggang Jakarta yang masih dalam kawasan Monas. Masjid itu tak terlalu besar, mungkin lebih mirip dengan musholla saja. Tapi cukup menampung jamaah untuk solat Jumat. Adapun tema khutbah saat itu membahas tentang riba.

Selesai solat, kami melanjutkan perjalanan menyusuri kawasan Monas dengan berjalan kaki. Tak lupa juga kegiatan berfoto yang wajib dilakukan, terlebih bagi kami yang mungkin akan sangat jarang ke tempat ini. Dari kejauhan, nampak barisan panjang mengular di pelataran Monas. Hal itu jualah yang membuat kami mengurungkan niat untuk naik ke sana. Kami lebih banyak menghabiskan waktu di taman-taman yang ada. Waktu itu terik matahari benar-benar membakar kulit.

Selain mengagumi keindahan Monas, ada satu hal lain yang bisa aku rasakan. Pikiranku kembali teringat akan sebuah peristiwa besar yang pernah terjadi di kawasan Monas ini. Saat itu, tepat pada tanggal 2 Desember 2017, jutaan orang dari berbagai daerah, latar belakang, hingga aliran, berkumpul di tempat ini. Mereka datang bukan karena mobilisasi oleh pihak tertentu, tapi aku meyakini bahwa kekuatan iman dan seruan hati nurani untuk membela agamalah yang menggerakkan mereka. Aksi bersejarah itu kemudian dikenal dengan Aksi Damai 212. Suatu peristiwa yang masih segar di benak banyak orang

Sekadar merefresh ingatan kita, bahwa Aksi 212 menunjukkan kepada dunia bahwa umat Islam masih punya ghirah atau semangat berislam yang tinggi. Siapa saja yang berani menistakan ajaran Islam, maka tunggulah reaksi dari umat yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini. Umat Islam tidak mencari musuh, namun ketika agama dihina ataupun dinista, maka jangan salahkan umat Islam jika berontak.

Setelah puas di Monas, selanjutnya kami menuju masjid Istiqlal. Sebelum itu tak lupa kami membeli oleh-oleh terlebih dahulu. Aku sendiri membeli baju, gantungan kunci, magnet kulkas, dan miniatur monas. Harganya lumayan terjangkau. Oleh-oleh itu nantinya bisa dibagikan di rumah.

Menuju Masjid Istiqlal, kami mencoba menaiki Bis Tingkat Wisata yang disediakan Pemkot DKI secara gratis. Tak perlu menunggu lama, sebuah bis bertingkat singgah di halte yang disediakan. Kami pun masuk ke dalam bis dan mencari posisi duduk di bagian atas.

(ternyata yang gratisan enak juga)

Untuk sampai ke Masjid Istiqlal, bis ini tidak langsung kesana, tetapi melalui beberapa rute lain terlebih dahulu. Sebenarnya jarak dari Monas ke Masjid Istiqlal tidak terlalu jauh, cuma karena ini bis berputar-putar dulu jadi terasa lebih lama sampainya. Tapi hal itu tidak menjadi masalah.

(countdown Asian Games di bundara HI)

Sesampainya di Istiqlal, kami disambut oleh anak-anak yang menjajakan kantong kreseknya. Waktu ashar sudah masuk kala itu. Kami pun mempercepat langkah kaki. Jamaah lainnya juga terus berdatangan. Setelah mengambil wudhu dan menaiki beberapa anak tangga, akhirnya kami benar-benar bisa masuk ke ruang induk masjid.

Rasa kagum dan ketidakpercayaan masih aku rasakan seraya mengangkat takbir bersama ratusan jamaah lainnya. Masjid yang dibangun era Soekarno ini benar-benar luas dan megah. Tihang-tihang utamanya begitu besar. Masjid ini juga terdiri dari beberapa tingkat. Kalau biasanya aku melihat masjid ini ketika siaran solat Jumat berlangsung di TVRI, kini bisa aku rasakan sendiri bagaimana atmosfer yang luar biasa dalam masjid ini.


Lagi-lagi, ingatan akan Aksi Damai 212 itu kembali menyeruak. Masjid ini tentu menjadi saksi bisu akan peristiwa bersejarah tersebut. Masjid ini merupakan salah satu basis dan tempat berkumpul sekaligus beristirahat para jamaah, terutama bagi mereka yang datang dari tempat jauh. Coba aku bayangkan, bagaimana saat itu masjid ini menjadi lautan manusia berpakaian serba putih dengan pekikan takbir yang membara. Meski banyak pula orang-orang di luar sana yang nyinyir dengan mereka, tapi toh semua yang dilakukan semata-mata sebagai wujud tanggung jawab kepada Allah. Mereka hanya ingin menempatkan diri pada barisan yang membela agama. Sayang, aku berada jauh dari masjid ini sehingga hanya sederet doa yang saat itu bisa aku langitkan.

Usai solat, aku tak langsung beranjak. Aku mengarahkan pandangan ke sekelilingku. Saat itu masjid cukup ramai dengan banyaknya para jamaah. Aku dan temanku juga mencoba menyisir beberapa tempat yang kami lalui, termasuk sebuah tempat luas dan lapang. Dari sana terlihat gedung-gedung tinggi yang mengelilinginya. Tak lupa aku mengambil foto sebagai kenang-kenangan saja.


Kami kemudian berkumpul kembali di titik yang tadi kami sepakati. Sebelum menuju Kota Tua, kami mencari makan sebentar di tempat para pedagang. Disana aku memesan sepiring ketoprak. Seusai itu perjalanan kami lanjutkan masih menggunakan Bis Tingkat.

Setibanya di Kota Tua, terlihat lalu lalang manusia yang begitu banyak disana. Suasana sore itu benar-benar ramai hingga ke dalam kawasan Kota Tua. Untuk pertama kalinya, aku bisa secara langsung menyaksikan bangunan-bangunan tua yang sudah ada sejak era kolonial. Di kawasan itu terdapat beberapa museum, kantor, bahkan Indomaret sekalipun.

Kegiatan yang kami lakukan selain mengamati satu per satu bangunan, tentu saja berfoto di tempat-tempat yang bagus. Matahari yang tak lagi terlalu bersinar membuat suasana menjadi teduh. Para penyanyi jalanan hingga orang-orang yang bersepeda membuat sore semakin mengasyikkan.


Hari mulai berganti. Perasaa capek akibat beraktivitas seharian juga telah terasa. Kami pun pulang. Awalnya kami ingin memesan Grab Car. Namun setelah melihat biaya yang cukup tinggi, kami akhirnya memutuskan untuk menggunakan kereta api terlebih dahulu, baru dilanjutkan dengan Grab. Kami menuju Stasiun Kota yang terletak tak jauh dari Kota Tua. Ini adalah pengalaman pertamaku menggunakan kereta api karena di Kalimantan memang masih belum ada.

(capek bro...)

Apa yang kami alami hari ini adalah perjalanan yang tak terlupkan sampai kapanpun. Ada banyak tempat yang kami singgahi dan cerita yang kami temui. Semoga perjalanan ini tak sekadar untuk berlibur, tetapi menjadi jalan untuk semakin mendekatkan diri pada sang pencipta semua ini. Selama perjalanan pulang, momen-momen menyenangkan hari ini kembali melintas dalam benakku. Masya Allah. Mahasuci Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar