Januari 2018 - Podium.com

Minggu, 28 Januari 2018

Menuju Pilpres, Jokowi Siapkan “Prajurit Tempur”?

Januari 28, 2018 0
Menuju Pilpres, Jokowi Siapkan “Prajurit Tempur”?
Memasuki tahun 2018, suhu politik di Indonesia diperkiran kembali memanas khususnya dalam pertaruhan pemilihan kepala daerah atau Pilkada. Berbagai macam strategi, manuver hingga intrik politik akan kembali tersajikan di depan mata. Bagi mereka yang ingin mengambil untung, tentulah saat-saat seperti ini merupakan kesempatan emas. Berbagai macam figur pemimpin akan bermunculan seiring dengan dinamisnya dunia perpolitikan tanah air.

Tak sampai disitu, puncak dari semua ini nantinya adalah pemilihan presiden 2019. Tahun 2018 adalah masa pengumpulan “amunisi”, baik oleh perorangan ataupun kelompok elite parpol dan 2019 adalah momen “menembakkannya”. Kurang lebih begitu gambarannya. Kekuatan partai politik sedikit banyaknya akan tercermin dari pemilihan kepala daerah ini. Akan diketahui mana partai yang memiliki elektabilitas tinggi dan juga sebaliknya.

Jika mengacu pada pemilihan presiden 2019, maka akan muncul sejumlah nama yang diprediksi akan meramaikan pesta lima tahunan ini. Siapa lagi kalau bukan petahana Joko Widodo dan “musuh babuyutan”, Prabowo Subianto. Dikutip dari CNN Indonesia, berdasarkan survei yang dilakukan PolMark pada 9-20 September 2017 dengan responden 2.250 orang dari 32 provinsi menyebutkan bahwa Presiden Jokowi masih menempati posisi teratas dengan memperoleh 41,2 persen. Disusul Prabowo Subianto dengan suara sebesar 21 persen. (22/10/2017).

Meski dua nama tersebut yang memiliki kemungkinan besar untuk maju, tidak menutup kemungkinan dunia politik Indonesia akan diwarnai dengan kedatangan aktor-aktor politik baru. Masih dari hasil survei PolMark, ada sejumlah nama baru yang mulai bermunculan. Antara lain Agus Harimurti Yudhoyono (2.9 persen), Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan (2,2 persen), Hary Tanoesoedibjo (2 persen) dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo (2 persen). Nama-nama inipun tidak terlalu asing di telinga masyarakat. Belakangan, nama-nama ini sering disebut-sebut, baik di media cetak maupun elekronik.

Memang masih terlalu dini untuk memprediksi siapa yang akan menjadi rival Jokowi selanjutnya. Seiring dengan culture politik yang amat dinamis, bisa saja hal-hal yang diluar prakiraan banyak orang akan terjadi. Tapi juga tak ada salahnya untuk mencermati gejala-gejala ini sebagai persiapan menuju pilpres agar tidak salah sasaran nantinya dalam memilih.
           
Dilansir dari situs Republika.co.id, Direktur Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan ada tiga nama yang namanya terus mencuat di kalangan masyarakat. Mereka adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo (3/12/2017). Hasil ini tidak berbeda jauh dari hasil survei PolMark yang sudah diterangkan sebelumnya. Itu artinya tidak menutup kemungkinan tiga nama ini bisa saja maju sebagai capres penantang Jokowi meskipun juga terbuka peluang mereka menjadi Cawapres Jokowi. Hal ini bisa terlihat dari hasil survei Indo Barometer yang menduetkan Joko Widodo-Gatot Nurmantyo dan memperoleh nilai 47,9 persen.
           
Yang menarik dari ketiga nama itu adalah dua dari mereka memiliki latar belakang sebagai militer. Itu belum termasuk Prabowo Subianto yang merupakan mantan petinggi Kopasssus. Agus Harimurti Yudhoyono adalah seorang tentara Angkatan Darat lulusan Akademi Militer tahun 2000. Jabatan terakhirnya sebelum hengkang adalah Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203 Arya Kemuning. Ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden ke-6 Indonesia dan sekarang masih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. SBY juga merupakan lulusan Akademi Militer tahun 1973 dan seorang Purnawirawan. Karir militer AHY maupun SBY terbilang cukup baik.
           
Sementara itu Gatot Nurmantyo adalah mantan Panglima TNI era Presiden Joko Widodo sebelum digantikan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Nama Gatot memang sudah dikenal banyak masyarakat dan popularitasnya semakin melonjak. Citranya di masyarakat juga terbilang positif. Tidak heran jika namanya sering disebut-sebut lembaga survei dengan elektabilitas yang cukup baik.
           
Lalu bagaimana dengan Anis Baswedan yang sekarang menjabat Gubernur DKI Jakarta? Tak ada yang tak mungkin dalam politik. Semua bisa saja terjadi. Semua orang bisa saja menjadi calon presiden. Apalagi jika menilik sejarah Presiden Jokowi sekarang yang berhasil menjadikan DKI Jakarta sebagai “batu loncatan” untuk menuju istana. Tentu Anis juga punya kesempatan tersebut. Hanya saja semua itu kembali lagi pada dirinya sendiri. Apakah hanya mengurusi Jakarta atau mau mengadu nasib di Pilpres 2019 berbekal parpol yang selama ini mengusungnya dan juga hasil survei yang lumayan bagus.
           
Berkaca dari kemungkinan empat nama itu akan maju, yang mana mayoritas dari kalangan militer, maka Presiden Jokowi seolah sedang menyiapkan “prajurit tempurnya”. Reshuffle Kabinet Kerja jilid IV pada awal tahun 2018 begitu kentara dengan masuknya dua Jenderal sekaligus. Selain masuknya Idrus Marham menggantikan Khofihah Indar Parawansa dan Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar yang menggantikan Hasyim Muzadi (alm), nama Jenderal TNI (Purn) Moeldoko sempat mencuri perhatian. Mantan Panglima TNI ini menjabat sebagai Kepala Staf Presiden menggantikan Teten Masduki. Sebuah jabatan yang amat dekat dengan Presiden.
           
Dengan masuknya Moeldoko dan Agum Gumelar, maka kini “squad” Presiden Jokowi benar-benar bertabur para jenderal, baik dari lingkungan TNI ataupun Polri. Terhitung ada 11 Jenderal di barisan Joko Widodo. Mereka adalah Jenderal TNI (Purn) Moeldoko (Kepala Staf Presiden), Agum Gumelar (Wantimpres), Wiranto (Menko Polhukam), Ryamizard Ryacudu (Menhan), Subagyo Hadi Siswoyo (Wantimpres), Budi Gunawan (Kepala BIN), Luhut Binsar Pandaijatan (Menko Kemaritiman), Yusuf Kartanegara (Wantimpres), Gories Mere (Staf Khusus Presiden), Djoko Setiadi (Kepala BSSN), dan Sidarto Danusubroto (Wantimpres). (dilansir dari Brilio.net).
           
Harus diakui bahwa kehadiran para jenderal ini bisa membawa pengaruh yang baik dalam kinerja pemerintahan. Dari segi kepimpinan dan pengalaman, tentu mereka tak perlu diragukan lagi. Begitupun dari sisi politis, hal ini sedikit banyaknya juga akan mempengaruhi citra pemerintah. Sejak dahulu, kalangan militer cenderung memiliki citra positif dan dipercaya kebanyakan masyarakat. Tak heran jika dibeberapa wilayah pada kontestasi Pilkada tahun ini, sejumlah calon dari background TNI Polri menyatakan diri maju. Sebut saja Pangkostrad TNI Letjen Edy Rahmayadi (calon gubernur Sumut), Irjen Murad Ismail (Maluku), Irjen Safarudin (calon gubernur Kaltim), Brigjen Siswandi (Cirebon), Mayor Infantri David Suardi (Bengkulu), AKBP Ilyas (Kota Bau-Bau) dan Mayjen TNI (Purn) Sudrajat (calon gubernur Jabar).
           
Adanya pasukan jenderal ini seperti ditujukan Presiden untuk membendung kekuatan penantang yang kemungkinan berasal dari militer seperti disinggung sebelumnya. Memang tujuannya bukanlah untuk mendulang suara prajurit TNI dan Polri karena sesuai undang-undang mereka tak memiliki hak suara untuk menjaga netralitas. Namun para jenderal ini akan mampu memperkuat kedudukan Jokowi untuk kembali maju pada Pilpres mendatang. Para jenderal biasanya memiliki jaringan yang luas sehingga berpotensi menjadi dukungan untuk atasan mereka (baca: Presiden).
           
Dikutip dari Nusantaranews.co Direktur Eksekutif Median Rico Marbun dalam analisisnya mengatakan bahwa berbagai survei menunjukkan saat ini penantang potensial Jokowi adalah Prabowo. Latar belakang militer Prabowo membuat banyak gerbong militer berbaris di belakangnya. Dengan memperkuat barisan jenderal pendukungnya, Jokowi bisa mengimbangi bahkan mengalahkan pasukan pendukung Prabowo (20/1/2018).
           
Tak hanya itu, bisa jadi para jenderal ini sengaja dipersiapkan untuk mendampingi Jokowi di Pilpres. Sosok dari TNI atau Polri memang disebut-sebut sangat ideal mendampingi Jokowi untuk kembali berlaga. Bisa saja Jokowi nantinya akan berpasangan dengan Moeldoko, Luhut atau mungkin Budi Gunawan. Tentu tak ada yang tak mungkin. Bahkan dalam surveinya pada 13-25 November 2017, PolMark Research Center (PRC) menemukan hasil apabila Jokowi dipasangkan dengan Budi Gunawan akan memperoleh 65 persen pemilih dan mengungguli pasangan-pasangan lain (bisnis.com, 19/12/2017). Apakah Anda setuju?.
           
Terlepas dari semua itu, tentu yang disampaikan di atas masih sebatas analisa sederhana. Terjadinya big surprise masih sangat memungkinkan. Kita tunggu saja seperti apa kejutan-kejutan itu. Satu hal yang jangan sampai dilupakan nantinya adalah jangan mudah termakan oleh janji-janji politik apalagi sekadar uang beberapa lembar. Pemimpin negara bukanlah simbol negara semata, namun di tangannyalah nasib lebih dari 250 juta orang akan ditentukan. Kita tunggu saja. Walllahu’alam bisshawab.

*Sumber gambar : merdeka.com

Rabu, 24 Januari 2018

Mencari Komedi Sejati

Januari 24, 2018 0
Mencari Komedi Sejati

“Tertawa itu sehat” atau “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”. Begitulah beberapa kalimat yang sudah sering kita dengar. Tertawa memang merupakan aktivitas yang sering kita lakukan terutama ketika mendapati hal-hal yang lucu. Bahkan banyak ahli dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tertawa dapat membuat tubuh menjadi sehat. Tertawa ternyata juga mampu mempengaruhi kondisi psikologis seseorang menjadi lebih baik.

Ada banyak hal dan cara untuk membuat seseorang tertawa. Salah satunya dari layar televisi. Bagi yang penah hidup di tahun 1980 sampai 1990-an, tentunya masih ingat bagaimana kekocakan yang ada pada film komedi legendaris Indonesia, Warung Kopi atau Warkop DKI. Dibintangi oleh Dono, Kasino dan Indro, film ini terbilang sukses di setiap rilisnya dan selalu berhasil menghibur para penonton. Ada banyak sekali adegan-adegan lucu yang diperagakan trio pelawak ini. Hal itu semakin diperkuat dengan karakter dan penampilan mereka yang memang terlihat nyeleneh. Tak hanya dari adegan, judul film ini juga terbilang unik. Sebut saja, Maju Kena Mundur Kena, Setan Kredit, Pintar-Pintar Bodoh dan lain-lain.

Meski demikian, nilai-nilai atau pesan yang ingin disampaikan dari film ini tidak serta merta hilang karena lawakan-lawakan tersebut. Justru dengan lawakan itulah, film ini semakin digemari banyak orang. Tak jarang, lawakan-lawakan tersebut mengandung pesan dan sindiran sosial. Semua itu memang tak terlepas dari situasi negara saat itu yang dipenuhi oleh keotoriteran penguasa. Satu hal yang bisa kita petik ialah bahwa sebenarnya masalah hidup bahkan negara bisa ditertawakan.

Setelah puncak keemasan Warkop DKI perlahan sirna, muncullah grup-grup lawak lainnya yang juga menghiasi layar kaca. Seperti misalnya Srimulat dan Opera Van Java.  Akan tetapi di tahun 2018 ini, grup-grup lawak tersebut sudah tak terdengar lagi, meskipun beberapa anggota dari grup tersebut masih eksis. Namun bukan berarti tak ada hiburan yang menarik. Justru kini kita memasuki dunia lawak yang baru yaitu lawak tunggal atau Stand up Comedy.

Dari beberapa sumber di internet yang saya baca, cikal bakal dari munculnya Stand up Comedy di Indonesia diawali sejak kemunculan Taufik Savalas (alm) melalui acara Comedy Cafe dan juga acara Ramon Papana sebagai pemilik Comedy Cafe. Akan tetapi acara ini kurang mendapat respons dari masyarakat Indonesia.

Ramon Papana terus berusaha untuk mempopulerkan stand up comedy dengan menggelar open mic di Comedy Café miliknya. Ramon pula yang mencetuskan ide untuk merekam sejumlah penampilan stand up comedian dalam open mic di Comedy Cafe untuk diunggah di Youtube. Setelah berlalu, usaha mengembangkan Stand Up comedy diteruskan oleh seorang Iwel wel pada 6 Maret 2004 yang mengisi acara Jayus Plis Dong Ah di TV7 (sekarang Trans 7) dan juga acara Bincang Bintang di RCTI yang memang acara tersebut di design untuk Stand Up Comedy oleh mas Indra Yudhistira (standupcomedyindonesia.wordpress.com).

Stand up comedy terus berkembang hingga akhirnya Panji Pragiwaksono dan Raditya Dika turut serta membawakannya dan disebar di media Youtube. Sejak itulah, stand up comedy semakin dikenal luas masyarakat. Ditambah lagi beberapa stasiun televisi tertarik untuk membuat program acara TV dengan mengusung konsep stand up comedy. Bahkan kini stand up comedy menjadi ajang kompetisi.

Hingga sekarang, stand up comedy seolah menjadi wabah baru khususnya di kalangan anak muda. Banyak dari mereka yang terjun ke dunia komedi. Terlebih ketika adanya kompetisi, sebut saja Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) yang diadakan stasiun televisi Kompas, semakin menarik perhatian masyarakat. Dari sana jualah, muncul komika-komika-sebutan untuk mereka yang melakukan stand up comedy, yang hingga hari ini masih bisa kita dengarkan lawakan mereka. Diantaranya Ryan, Gee Pamungkas, Babe Cabita, David, Indra Jegel dan masih banyak lagi.

Saya sendiri tidak ingat pasti kapan pertama kali menyaksikan stand up comedy. Yang jelas, saya tahu ada stand up comedy juga dari televisi. Awalnya saya agak risih dengan kalimat-kalimat para komika yang sering kali mendapat sensor. Kalau tidak salah, biasanya sensor diberikan jika ada kata-kata kasar, menyebut nama seseorang atau kelompok atau kata-kata yang menjijikan dan tidak sopan. Tapi saya tak terlalu mempedulikan lagi karena ikut larut dalam kelucuan-kelucuan yang mereka ciptakan.

Belakangan, dunia stand up comedy kembali menjadi perhatian masyarakat. Bukan karena prestasi dari para komika, tapi justru masalah-masalah yang berkaitan dengan isu agama. Dua orang yang mencuri perhatian tersebut berinsial GP dan J. Namun kali ini saya tidak membahas apakah perkataan mereka bisa dikategorikan penistaan agama atau tidak. Biarlah masyarakat dan aparat yang menilai sendiri.

Ada satu hal yang ingin saya tegaskan bahwa memang apapun dapat dijadikan bahan tertawaan. Entah itu hal kecil, besar, yang ada di sekitar kita ataupun yang lainnya. Namun yang harus digarisbawahi adalah ketika agama menjadi objek lawakan, disinilah kekeliruan itu terjadi. Yang harus dipahami ialah bahwa agama dan menyangkut hubungan manusia dengan Allah sang pencipta alam semesta ini. Agama yang diturunkan kemudian disebarkan kepada seluruh manusia tidak melalui proses yang gampang. Karena itu, agama bersifat sakral dan memiliki “zona merah” yang tidak boleh diterobos apalagi sekadar untuk menjadi bahan lawakan tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.

Kalau demikian, apakah agama kemudian bersifat kaku, selalu serius dan bahkan menakutkan?. Sebenarnya  tidak juga. Sebagai contoh kita pasti kenal dengan K.H Zainuddin MZ (alm). Ceramah-ceramah beliau selalu diselipi dengan candaan ataupun lawakan. Apakah itu kemudian menjadi masalah? Apakah pernah ada orang yang merasa bahwa beliau telah menistakan agama dengan lawakan-lawakan itu? Tentu tidak. Karena dalam hal ini, candaan dimasukkan bukan sebagai sebuah “ajaran”, tetapi sebagai metode pendekatan yang “mustajab”. Para penceramah tentu tahu bahwa ceramah agama yang disampaikan terlalu serius kadangkala tak diminati masyarakat dan membuat mengantuk. Itulah sebabnya, candaan atau lawakan diselipkan sebagai hiburan. Tentunya tanpa berlebihan.

Contoh lainnya adalah gaya ceramah ustadz Maulana misalnya. Justru yang membuat beliau terkenal salah satunya karena cara penyampaian beliau yang unik. Para pendengar dibuat tidak saja mendapatkan ilmu, tetapi juga mendapatkan hiburan. Begitupun dengan Ustadz Abdul Somad yang sekarang sedang “naik daun”. Kemampuan beliau dalam menguasai kitab-kitab, hafalan yang luar biasa dan cara komunikasi yang hebat, tidak terlepas dari guyonan yang beliau selipkan. Terkadang guyonan tersebut berisikan kritik halus kepada umat.

Kembali pada stand up comedy. Saya memiliki harapan besar kepada dunia stand up comedy ini. Saya memimpikan bahwa stand up comedy akan menjelma menjadi hiburan yang cerdas dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Tak sekadar berisi bualan yang bersifat imajinatif, tetapi juga berdasarkan fakta, yang dalam hal ini dapat berupa sindiran kepada masyarakat ataupun pihak penyelenggara negara. Tentu hal itu sah-sah saja dilakukan. Malahan sindiran dengan jalur ini bisa dikatakan sebagai sindiran terbaik karena disampaikan dengan bahasa yang “halus” dan menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat.

Terakhir, masyarakat Indonesia harus tetap merasa bahagia hidup di negara ini. Harus kita akui bahwa masalah negeri ini semakin banyak yang itu bisa menjadi beban fikiran. Karena itu rakyat Indonesia sangat memerlukan hiburan agar tidak “gila” dengan situasi yang sekarang ini. Masalah yang ada sesekali juga harus ditertawakan dan itu bisa didapatkan karena stand up comedy. Wallahu a’lam bisshawab.


*Seorang komika yang masih muda dengan peci hitamnya naik ke atas panggung. Matanya menyapu semua penonton. Setelah membuka dengan salam, ia memulai aksinya.

“Beberapa hari yang lalu gue dengar katanya ada menteri yang pengen menertibkan para ustadz yang kebanyakan melucu. Yaelah, dalam hati gue berfikir, emang salahnya dimana?. Emang kalau ustadz melucu apakah tiba-tiba inflasi jadi naik, utang luar negeri bertambah atau investasi asing berkurang? Gak kaya gitukan?. Tapi ya sudahlah. Gue gak mau lanjutin takut dicyduk. Satu hal yang pengen gue sampaikan adalah, Rakyat Indonesia harus tetap tertawa sebelum tertawa itu dilarang Menteri Agama. Merdeka. Hahayy” (sambil lari-lari kecil).

sumber gambar : simplemeditation.work

Sabtu, 06 Januari 2018

Ada Apa Dengan Gereja

Januari 06, 2018 0
Ada Apa Dengan Gereja

Perayaan natal bagi umat Kristiani pada 25 Desember 2017 telah berlalu. Seperti biasanya, perayaan natal kali ini berjalan lancar dan tanpa gangguan sebagaimana yang diharapkan semua pihak. Hal ini tentu tidak terlepas dari peran aktif pihak pemerintah, aparat keamanan dan masyarakat.

Meski Natal sudah berlalu, namun ada yang menarik dari setiap perayaan-perayaan natal khususnya di Indonesia. Bukan karena hadirnya pohon natal dengan gemerlap lampu-lampunya yang indah atau orang-orang yang menyerupai Sinter Klas, melainkan rasa toleransi umat beragama yang bagi sebagian orang dirasa hadir kembali. Meski dibalik semua itu, juga ada terselip rasa kekhawatiran.

Tak hanya dari pihak kepolisian yang menjaga gereja untuk perayaan natal, tetapi juga dari berbagai elemen masyarakat yang memang didominasi orang Islam. Mereka ada yang hadir atas nama kelompok, organisasi kemasyarakatan (Ormas), hingga anak-anak pramuka. Mengambil dari bbc.com, pihak Banser Nahdlatul Ulama bahkan menerjunkan sekitar dua juta personilnya untuk menjaga gereja-gereja selama perayaan Natal di seluruh Indonesia. Tak heran jika di halaman gereja bisa ditemui orang-orang yang berpeci atau berjilbab yang “stand by” disana. Tugas mereka tentu untuk menjaga keamanan dan ketertiban pada saat perayaan.

Pemandangan semacam ini memang telah lama ada dan bisa dinilai sebagai bentuk toleransi yang sangat baik selagi tidak melanggar aturan aqidah yang berlaku. Adanya pihak “mayoritas” yang menjaga ritual agama “minoritas” ini, seolah ingin menyangkal segala macam tuduhan intoleransi yang selama ini seringkali ditujukan kepada “kelompok mayoritas”. Kehadiran “kelompok mayoritas” seperti juga ingin menegaskan bahwa “kelompok mayoritas” tak pernah memaksakan kepercayaannya dan tetap menjaga hubungan baik dengan umat-umat lainnya sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi negara.

Melihat pemandangan semacam ini, saya justru teringat sesuatu. Berawal dari seorang teman yang dulu pernah berkata kurang lebih seperti ini; “Selama gereja-gereja masih dijaga, itu berarti keberagaman umat beragama masih menjadi tanya”. Awalnya saya tak terlalu memahami maksud dan tujuannya. Hingga akhirnya saya mendapatkan satu kesimpulan pribadi.

Pernyataan teman saya tersebut saya nilai berangkat dari rasa kekhawatiran bahkan ketakutan terhadap keberagaman beragama di Indonesia. Kekhawatiran itu yang kemudian diwujudkan, baik oleh pemerintah ataupun masyarakat dengan pengerahan pasukan keamanan dalam jumlah tertentu. Kita tentu masih ingat ancaman ataupun teror-teror yang bermunculan terutama ketika mendekati perayaan hari-hari besar keagamaan. Memori kelam semacam itulah yang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak. Tentu sudah menjadi rahasia umum terkait motif dari setiap ancaman atau teror yang datang.

Dikutip dari tribunnews.com, menjelang Natal, aparat gabungan TNI dan Polisi melakukan penyisiran dan penjagaan pada sedikitnya 355 gereja yang ada di Surabaya. Tak tanggung-tanggung, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Kapolrestabes Surabaya, Kapolres Tanjung Perak Surabaya dan Danrem 084 Bhaskara Jaya, memimpin langsung sterilisasi di Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria Surabaya. Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Rudi Setiawan mengatakan bahwa mereka melakukan patroli keamanan dan sterilisasi gereja sebagai bentuk kesolidan mereka serta agar ibadah Natal terbebas dari ancaman teror bom.

Kalau kita teliti, dari kegiatan dan pernyataan itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa kekhawatiran akan keberlangsungan perayaan Hari Besar umat beragama, masih ada bahkan cenderung tinggi. Teori fisika mengatakan bahwa setiap reaksi yang terjadi selalu diawali karena adanya sebuah Aksi. Dalam hal ini bisa kita analogikan secara sederhana dimana Aksi tersebut adalah berupa ancaman dan teror bom. Sedangkan Reaksinya adalah antisipasi ataupun penjagaan di tempat yang cenderung terjadi Aksi. Semakin besar Aksi maka akan semakin besar pula Reaksi yang ditimbulkan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas dalam wawancaranya dengan bbc.com. Ia mengatakan bahwa penjagaan mulai meningkat setelah munculnya berbagai ancaman pengoboman pada awal tahun 2000-an.

Saya berfikiran seperti ini, seandainya rasa kekhawatiran itu tidak ada, maka tidak perlu lagi ada sterilisasi dan penjagaan pada tempat-tempat ibadah tersebut. Tidak akan ada juga orang yang menghalangi atau merusak kekhidmatan perayaan, tidak ada ancaman teror bom dan sebagainya. Keberadaan pihak aparat keamanan lebih kepada pengaturan arus lalu lintas saja, bukan karena antisipasi hal-hal buruk tersebut.

Sebagaimana ketika umat Islam melaksanakan solat Idul Fitri misalnya, maka tidak kita dapati ada pengerahan aparat keamanan ataupun pemeriksaan tempat semacamnya. Paling-paling sebatas penjagaan ketertiban karena jumlah jamaah yang tumpah ruah. Tentu, karena selama ini memang tak ada masalah ataupun kekhawatiran pada perayaan tersebut.

Begitu pula dengan penjagaan gereja dari sebagian kelompok orang Islam. Jika seandainya selama ini kehidupan antar umat beragama rukun-rukun saja, maka tidak perlu ada penjagaan semacam itu lagi. Toh, faktanya selama ini kita memang baik-baik saja sehingga tidak perlu ada penegasan kembali kerukunan umat beragama yang diwujudkan dengan-lagi-lagi, pihak “mayoritas” menjaga “minoritas”.

Belakangan ini, isu intoleransi beragama seperti berkobar kembali. Di dalam Islam sendiri, sebenarnya sudah jelas batasan-batasan toleransi sehingga tidak perlu lagi ada perdebatan dan semacamnya. Dalam perkara duniawi, kita semua adalah saudara yang saling mengasihi. Hanya saja, dalam urusan aqidah, disini tak ada kompromi. Untuk itulah, ada baiknya jika kita kembali membuka Alquran, membaca kitab-kitab atau buku keislamanan lainnya, datang ke rumah-rumah para alim ulama ataupun hadir di majlis-majlis. Semua itu agar kita dapat memahami seutuhnya hakikat toleransi.

Akan tetapi disini saya bukan bermaksud bahwa gereja ataupun tempat-tempat beribadah lainnya tidak perlu dijaga. Namun hal ini bisa menjadi bahan perenungan kita bersama. Jika penjagaan tersebut murni hanya untuk menjaga ketertiban, maka patut kita syukuri. Akan tetapi jika memang penjagaan tersebut dilandasi adanya rasa kekhawatiran dan ketakutan, disinilah muncul sebuah tanya; Apakah selama ini keberagaman beragama kita sudah terjaga atau hanya menjadi retorika. Wallahu a’lam bisshawab.

sumber gambar : republika.co.id