2018 - Podium.com

Jumat, 05 Oktober 2018

Panduan Sederhana Membuat Berita Mahasiswa

Oktober 05, 2018 0
Panduan Sederhana Membuat Berita Mahasiswa

-sebuah coretan pemula untuk mereka yang mau bermula-

Membuat berita adalah pekerjaan yang mudah. Hal ini karena sebenarnya berita memiliki format penulisan informasi yang hampir sama, seperti Apa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana. Lima unsur inilah yang biasanya ada dan hanya diubah-ubah sesuai kondisi dan fakta yang terjadi. Adapun selain itu hanyalah tambahan untuk memperkaya isi berita.

Diperlukan sentuhan akhir dari sang penulis agar mampu meramu semua informasi yang ada menjadi sajian yang ringan dan nyaman dibaca. Harus mampu menyusun kalimat yang menarik dan mudah dipahami. Format berita memakai konsep piramida terbalik, dimana informasi penting berada di atas atau awal tulisan dan selanjutnya berisi informasi tambahan atau kurang penting. Selain itu agar tulisan berita semakin bagus harus menghindari beberapa kesalahan seperti hindari kalimat tidak efektif, kalimat terlalu panjang, bertele-tele, pengulangan kalimat/informasi, typo, dan sebagainya.

Tidak boleh dilupakan bahwa menulis berita adalah menceritakan kembali sebuah peristiwa, bukan mendeskripsikan sebuah peristiwa tersebut. Ini memang beda tipis. Ciri-ciri deskripsi adalah terasa monoton ketika dibaca dan terlalu runtut dalam penyampaiannya. Tulisan tersebut terasa tidak mementingkan kenyamanan saat dibaca, namun hanya berusaha agar isi tulisan persis seperti peristiwa yang diangkat tersebut.

Lingkungan kampus adalah tempat yang menjadi sumber-sumber berita. Dengan segala hiruk pikuk aktivitasnya, kampus mampu menciptakan berbagai macam berita yang kaya. Sebut saja acara-acara organisasi mahasiswa, aksi-aksi mahasiswa, pemilihan BEM, dekan, hingga rektor, upacara atau peringatan, biaya UKT, layanan dan fasilitas, dan masih banyak lagi. Ini juga tergantung kepekaan para penulis berita itu sendiri. Sebuah berita bisa saja sekadar berlalu tanpa terekam dalam sebuah tulisan jika tidak ada kepekaan.

Berikut dipaparkan secara sederhana hal-hal apa saja yang harus didapatkan untuk bisa menciptakan sebuah berita yang bagus dan sesuai standar. Apa yang disampaikan di sini memang tidak serta merta begitu adanya, namun semoga ini bisa membantu khususnya bagi para pemula.

1.      Judul Yang Menggelitik Pembaca
Hal pertama yang dibaca adalah judul. Karena itu buatlah judul yang menarik. Jangan monoton dalam menyusun tiap kata. Perlu diingat bahwa pembaca akan semakin tertarik dengan judul yang mengelitik atau tidak biasa. Namun juga tidak terlalu berlebihan.

Membuat judul menarik bisa menggunakan pilihan kata yang bernada sama, seperti misalnya,

Terpilih Kembali, Rektor Baru Fokus Peningkatan Akreditasi (bernada “i”).

Judul semacam ini lebih menarik ketika dibaca. Bandingkan dengan judul serupa, “Rektor Baru Ingin Akreditasi A”. Bisa Anda rasakan sendiri sensasi ketika membacanya. Judul kedua terasa kering meskipun maksud dari kedua judul tersebut sama.
Contoh lain, (berita di luar kampus)

Gubernur Kayuh Jukung Di Festival Pasar Terapung (bernada “ng”)

Juga bisa menonjolkan informasi yang penting atau unik. Contoh,

            Himpunan Mahasiswa FEB ULM Undang Menteri Pendidikan

Judul di atas menyoroti kedatangan menteri. Kehadiran seorang Menteri Pendidikan adalah hal yang penting, bukan? Tentu tidak mudah untuk mengundang beliau terutama jika itu diselenggarakan oleh organisasi kemahasiswaan. Akan lebih menarik jika menteri tersebut jarang atau bahkan belum pernah hadir ke daerah/tempat tersebut.

Harus pula teliti dan mampu membedakan mana hal-hal yang lebih “menjual” saat menulis judul. Dalam kasus di atas, Anda bisa saja menyoroti hal lain, semisal “Seminar Himpunan Mahasiswa Dipenuhi Peserta”. Tapi bagi saya, menggunakan judul kedua ini terlalu biasa. Seminar atau acara apapun itu yang dipenuhi peserta adalah sesuatu yang wajar dan seringkali terjadi. Walaupun tidak menutupkemungkinan untuk dijadikan judul. Tapi harus diingat lagi, bahwa kita harus memikirkan sisi “pemasaran” dari tulisan kita.

2.      Pencarian Informasi Penting
Berikut beberapa informasi yang harus didapat untuk sebuah acara atau kegiatan kemahasiswaan (tidak berurutan).
a.       Acara apa yang diadakan
b.      Tempat acara
c.       Siapa yang menyelenggarakan
d.      Hari, tanggal, dan, waktu mulai
e.       Tema yang diangkat
f.       Rangkaian acara
g.      Siapa yang membuka acara
h.      Narasumber
i.        Jumlah peserta
j.        Hal-hal unik, nyentrik, dan berbeda
k.      Dsb. Bagian ini bisa anda kembangkan sendiri. Intinya saat di lapangan, catat saja semua informasi yang bisa diperoleh. Sehingga saat penulisan, Anda hanya perlu melakukan penyaringan informasi yang layak untuk dipublikasikan.

3.      Jangan Membuat Berita Yang Membuat Orang Pingsan Membacanya
Sebagai orang yang pernah menjadi bagian redaksi, saya masih sering menemukan tulisan-tulisan yang sangat panjang dalam setiap paragrapnya. Tidak hanya paragrap yang panjang, tapi juga kalimat-kalimatnya. Hal seperti ini benar-benar membuat orang “capek” membacanya. Belum lagi terkadang kalimat yang panjang tersebut justru kurang berkorelasi dengan kalimat sebelumnya.

Lebih parah, jika tulisan tersebut tidak menggunakan tanda titik, melainkan hanya tanda koma. Padahal antara tanda titik dan koma memiliki fungsi yang berbeda. Sehingga seolah-olah satu paragrap yang panjang tersebut hanya terdiri dari satu kalimat. Kalau Anda masih belum tahu perbedaan tanda titik dan koma, silakan secepatnya mencari tahu.

Harus diperhatikan, bahwa tulisan, khususnya berita tidak saja saja ditulis untuk menuangkan ide atau informasi yang Anda dapat. Namun juga bagaimana caranya agar tulisan tersebut nyaman dibaca.

Paragrap yang panjang, jika dilihat secara sekilaspun sudah membuat orang malas membacanya. Belum lagi jika dalam paragrap itu tidak tersusun ide-ide pokok yang mau disampaikan serta membosankan. Sebuah berita yang baik harus disajikan dengan kalimat-kalimat yang ringkas dan terukur.

4.      Mengubah Berita Sederhana Menjadi Tidak Biasa
Kadangkala kegiatan-kegiatan yang diadakan mahasiswa bersifat rutinan, entah bulanan, triwulan, atau tahunan. Sebut saja seperti kegiatan penyambutan mahasiswa baru, ulang tahun fakultas, dan sebagainya. Hal ini membuat berita tersebut terlihat hambar. Terlebih jika kegiatan tersebut juga diselenggarakan dengan biasa-biasa saja.

Lalu bagaimana solusinya? Tenang. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, sebagai berikut:
a)      Mencari Hal-Hal yang Berbeda atau Unik.
Kegiatan atau acara yang bersifat rutinan, maka bisa dibuat berita dengan memfokuskan pada perbedaan atau keunikannya. Biasanya kedua hal tersebut ada dalam setiap kegiatan terutama narasumber, meskipun juga tak menjamin 100%. Kebaruan ide, konsep acara, dan lain-lain, biasanya terjadi karena kepanitiaan yang berbeda dari yang sebelumnya. Anda bisa mengorek informasi ini dari para panitia. Atau kalau Anda berani, Anda bahkan bisa membuat berita yang menyoroti “ketidak kreatifan” panitia sehingga acara yang diadakan sama seperti yang sebelumnya.

b)      Mengungkap Sisi Lain
Dalam hal ini Anda harus berfikir “terbalik”. Jangan sampai terbawa arus begitu saja. Sebagai contoh adalah berita Perayaan Hari Lahir Fakultas. Mungkin konsep kegiatannya akan sama seperti tahun-tahun lalu. Anda sebaiknya jangan terbawa dengan suasana tersebut sehingga sekadar memberitakan bahwa sedang diadakan peringatan Hari Lahir Fakultas.

Agar tidak membosankan, Anda bisa mengambil angle berita yang lain seperti menanyakan kepada para mahasiswa mengapa tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Lahir Fakultas. Anda juga bisa menanyakan apakah mahasiswa sudah banyak yang mengetahui bahwa hari tersebut diperingati sebagai Hari Lahir Fakultas. Juga bisa menanyakan keluhan-keluhan mahasiswa terhadap fasilitas fakultas. Sehingga berita yang Anda tulis nantinya akan menyandingkan antara perayannya yang luar biasa dengan keadaan fakultas yang barangkali jauh dari harapan mahasiswanya. Tambahkan foto-foto yang mendukung hal tersebut. Itu kalau Anda berani?

c)      Menggabungkan berita yang sejenis
Kegiatan/acara rutinan sangat mungkin dilakukan serentak oleh organisasi mahasiswa. Seperti misalnya acara pengenalan organisasi Himpunan untuk mahasiswa baru. Ketimbang memberitakan satu-satu yang notabene tidak ada keunikan dan perbedaan, lebih baik digabungkan saja semua kegiatan tersebut dalam satu tulisan.

5.      Sajikan Fakta Bukan Opini
Saya kira Anda pasti sudah tahu mengenai perbedaan tulisan berita dengan opini. Berita adalah menulis ulang informasi yang benar-benar terjadi dengan tetap memperhatikan unsur-unsur keindahan tulisan. Anda tidak boleh menuliskan opini sendiri. Kecuali jika itu opini atau pendapat dari narasumber.

6.      Jangan Berbasa-Basi
Akan menjadi kacau jika Anda memulai kalimat pertama berita dengan kalimat yang terkesan berbasa basi. Seperti misalnya:

“Himpunan Mahasiswa Ekonomi adalah sebuah organisasi yang ada di FEB ULM. Organisasi yang berdiri para tanggal sekian sekian pada kali ini mengadakan sebuah acara bla bla bla” (paragraph 1)

Menurut saya hindari penulisan seperti di atas. Berita harus ditulis to the point karena informasi harus cepat sampai kepada pembaca. Ingatlah bahwa menurut konsep Piramida Terbalik, bagian pertama dalam berita berisi hal-hal penting. Karena itu harus dimanfaatkan untuk menyampaikan hal penting tersebut. Langsung saja tulis informasi yang mau Anda sampaikan. Tidak perlu berbasa-basi.

Cukup sekian dulu yang bisa saya paparkan di sini. Semoga bisa dipahami dan yang lebih penting adalah dipraktikkan. Jangan pula terlalu berpatokan pada apa yang saya sampaikan tadi, tapi cobalah untuk menggali sendiri berbagai macam ilmu yang maha luas ini.

Bisa karena biasa. Jangan malas untuk menulis. 

Kamis, 27 September 2018

Demonstrasi Yang (sedikit) Salah Dimengerti

September 27, 2018 0
Demonstrasi Yang (sedikit) Salah Dimengerti

Saat membuat tulisan ini, suasana Kota Banjarmasin sedang hangat-hangat dingin. Bukan perihal tahun politik yang kian meruncing antara pendukung “Ganti” atau “Tetap”, tapi pergerakan mahasiswanya yang saya rasa kembali “bergairah”. Hari ini tadi misalnya, saya mendapat informasi bahwa ada sekelompok mahasiswa yang sedang menggelar aksi demonstrasi. Pun demikian beberapa minggu yang lalu juga dengan aksi serupa bahkan lebih viral di mana-mana.

Kalau boleh saya sebut, sekarang Banjarmasin sedang mengalami Musim Demo-selain musim langsat, durian, rambutan, dan kawan-kawannya. Ya, belakangan mulai bermunculan aksi-aksi demonstrasi yang dimotori oleh para mahasiswa. Mungkin Anda juga boleh mentafsirkan mengapa saya menyebutnya “Musim”. Itu berarti yang sekarang ini terjadi hanyalah sementara. Kadang-kadang ada, kadang-kadang sepi senyap.

Jika sependapat, Anda boleh menebak-nebak penyebab kemunculan “musim” itu. Mungkin Anda akan mengatakan jika mahasiswa sekarang telah kehilangan idealisme, lebih sibuk dengan dunianya sendiri, hanya kebetulan cari sensasi, atau karena kultur budaya “Papadaan” sehingga cukup diselesaikan dengan kekeluargaan. Sah-sah saja semua pendapat itu.

Tapi kali saya tidak mau terlalu jauh mencampuri atau membahas tentang mereka yang berdemonstrasi di sana (selanjutnya saya singkat menjadi “demo” saja). Saya tak punya kapasitas untuk hal itu. Juga tidak tahu menahu duduk permasalahan. Akan berbahaya jika saya berani “ngomong” macam-macam. Bisa jadi hanya menambah emosi dan memperkeruh suasana, iya kan?. Karena itu saya bahas hal lain saja namun masih berkaitan.

Mendengar istilah demo yang dilakukan oleh kawan-kawan saya--saya sebut kawan karena mereka adalah mahasiswa sama seperti saya, saya jadi teringat dengan kalimat yang dulu pernah dilontarkan seorang teman dalam sebuah forum. Dikatakannya bahwa “untuk apa mahasiswa melakukan demo? Padahal mahasiswa bisa melakukan aksi nyata yang lebih kreatif dan bermanfaat ketimbang demo di jalan raya.” Kurang lebih demikian. Di sini saya ingin sedikit saja meluruskan pandangan mengenai demo itu sendiri.

Ada kesalahan ketika membenturkan antara demo dengan aksi nyata. Seolah-olah dua hal tersebut amat bertentangan. Bukankah demo juga termasuk aksi nyata? Melakukan pengkajian isu, diskusi, membuat spanduk, mobilisasi masa, turun ke jalan, pidato dan orasi, dan sebagainya, apakah itu bukan aksi nyata? Coba bandingkan dengan mereka yang hanya berdiam diri apalagi apatis? Mana yang lebih berkontribusi melakukan aksi nyata? (maaf kalau ada yang tersinggung).

Selain itu, demo adalah perwujudan kepedulian kepada keadaan masyarakat. Siapa yang tega melihat orang-orang miskin terlantar begitu saja, anak-anak tidak bersekolah dan berkeliaran di lampu merah, utang negara yang kian hari bertambah walaupun katanya negeri ini amat KAYA, serta setumpuk masalah lainnya. Ya setidaknya usaha mereka ini patut diapresiasi karena sudah menunjukkan kepedulian. Mereka berusaha menyuarakan masalah yang terkadang saking lamanya tidak terselesaikan, akhirnya dianggap biasa.


“Bicara kepedulian mulu. Harusnya kalau peduli itu bantu langsung. Misal galang dana buat diberikan ke orang miskin. Daripada demo cuma buang-buang energi dan uang,”

Saya akan menjawab pertanyaan dari kelompok….(eeh maaf. Kebawa suasana diskusi kuliah).

Jadi gini ya, perlu saya tekankan terlebih dahulu untuk tidak membentur-benturkan dua hal yang sebenarnya sama-sama tidak salah bahkan bisa dilakukan secara beriringan. Mau demo sambil galang dana, juga bisa kan? Kalaupun tidak, juga tidak masalah. Kenapa begitu? Saya kembali teringat, di sebuah forum diskusi, Denny Siregar pernah berucap bahwa ia prihatin dengan aksi 212 yang sebenarnya uang dari aksi tersebut bisa disumbangkan untuk orang-orang yang membutuhkan-pernyataan yang sama dengan yang di atas. Lalu kemudian dijawab Sujiwo Tedjo dengan telak bahwa kehidupan ini begitu kompleks. Tentu saja tidak bisa kita menggunakan kaidah logika dari bang Denny. Ya kalau begitu, berarti kita tidak usah menggelar acara A, B, C, D, E…..Z karena lebih baik dananya disumbangkan saja.

Demo juga merupakan bentuk sadar diri. Lho kok bisa? Iya bisa. Contoh sederhananya begini. Saya ambil kasus lama seperti banyaknya tenaga kerjas asing yang masuk ke Indonesia-termasuk yang bekerja sebagai buruh. Tentu urusan mengenai WNA adalah tugas negara melalui lembaga negara yang ditunjuk. Tidak mungkin kalau misalnya mahasiswa melakukan razia warga asing, terus menginterogasi, memberikan peringatan, hingga mendeportasi. Aneh bin lucu kan jadinya? Karena itu lewat demo, mereka berusaha mengingatkan yang punya wewenang untuk memperhatikan tuntutan mereka demi kenyamanan bersama. Karena tidak mungkin jika mahasiswa yang turun tangan. Sampai sini pahamkan ya???

Terakhir, bahwasanya demo memiliki kekuatan dan daya tekan yang relatif tinggi. Kalau kita flashback sebentar ke era 1998, di mana kekuasaan absolut Soeharto akhirnya bisa tumbang setelah adanya demonstrasi yang terus-terusan dilakukan berbagai macam pergerakan mahasiswa secara sistematis dan militan. Contoh lain yang lebih baru seperti kasus penistaan agama yang akhirnya baru bisa tercapai semua tuntutan ketika jutaan orang turun ke jalan.

Oleh karena itu, jangan pernah memandang sebelah mata sebuah aksi demo. Kita semua juga pasti tahu, bahwa demo-demo besar bisa berawal demo kecil-kecilan. Saat demo skala kecil, namun tiba-tiba misalnya beberapa orang ditangkap tanpa alasan jelas atau yang lebih ektrim tiba-tiba digigit anjing petugas yang sengaja dilepaskan, nah ini bisa menjadi pemantik gelombang demo selanjutnya. Namun saya tak mengharapkan hal-hal semacam ini terjadi.


“Mentang-mentang mahasiswa, Anda selalu membela demonya mahasiswa. Seolah-olah semua yang mereka lakukan adalah benar,”

Baiklah, saya mengerti maksud Anda. Karena itu, dalam tulisan ini saya juga sampaikan saran saya kepada kawan-kawan mahasiswa yang akan melakukan demo. Yang paling penting adalah tidak melakukan anarkisme. Ingat, benda-benda ataupun fasilitas yang dirusak tersebut bisa jadi akan membawa dampak kurang baik kepada orang lain. Belum lagi biaya ganti yang akan dikeluarkan. Uangnya tentu berasal dari kantong kita sendiri yang disalurkan melalui pajak.

Saya juga mewanti-wanti kawan-kawan semua agar tidak mudah terpancing emosi yang berujung pengrusakan. Ingat, ketika hal itu terjadi, saya khawatir justru akan menjadi serangan balik kepada aksi mahasiswa tersebut. Pada akhirnya orang akan menarik kesimpulan bahwa mahasiswa melakukan demo yang tidak mencerminkan jati diri mahasiswa. Kalau sudah begini, hilang sudah esensi dan tujuan demo yang diharapkan termasuk tuntutan yang disampaikan. Kita harus mewaspadai pemutarbalikan opini yang memang sudah biasa terjadi di negeri ini.

Terakhir, jangan pernah lupa untuk melakukan pengkajian dan pendalaman isu yang ingin diangkat atau disampaikan pada saat demo. Diskusi dengan orang yang ahli, tabayyun, dan musyawarah adalah langkah-langkah spesifik yang mestinya dilakukan sebelum aksi demo itu terselenggara. Jangan sampai tuntutan yang disampaikan justru tidak relevan bahkan tidak tepat sasaran. Kejadian semacam ini pastinya kontras dengan semangat intelektualitas mahasiswa.

Berkaitan dengan pengkajian isu, cobalah untuk berfikir out of the box. Cari sampai ke akarnya apa penyebab sebenarnya dari sebuah masalah yang mengemuka. Apakah hubungannya hanya dengan kepemimpinan, kebijakan pemerintah, atau bahkan sistem yang sedang dianut. Semua itu bukanlah hal tabu dan harus benar-benar ditelusuri-jika memang tujuannya untuk mencari solusi.

Saya, atau bahkan banyak masyarakat lainnya sangat tidak mengharapkan jika aksi-aksi demo hanya dilakukan untuk mencari sensasi belaka apalagi sekadar menjalankan program kerja organisasi misalnya. Kita semua ingin agar demo yang dilakukan kawan-kawan mahasiswa memang membawa sebuah misi besar untuk perubahan bangsa dengan dilandasi kepedulian untuk menyelesaikan semua problematika yang terjadi di negeri ini.

Salam Mahasiswa!!!

Di bawah kuasa tirani
Kususuri garis jalan ini
Berjuta kali turun aksi
Bagiku satu langkah pasti
(Buruh Tani – Lagu Perjuangan Mahasiswa)

sumber gambar : pixabay.com

Sabtu, 04 Agustus 2018

Malu Bertanya Sesat Di Mana-mana; Sebuah Tanya Tentang Tanya

Agustus 04, 2018 0
Malu Bertanya Sesat Di Mana-mana; Sebuah Tanya Tentang Tanya

Sebelum Anda membaca tulisan ini, ada baiknya jika saya terlebih dahulu bertanya untuk apa Anda membaca tulisan saya ini?. Bukankah hal itu hanya membuang waktu santai Anda atau bisa jadi Anda merasa muak dengan tulisan ini. Saya tidak menjamin tulisan ini layak disebut tulisan. Lantas, mengapa sekarang Anda tak langsung mengabaikannya?

Pertanyaan saya di atas sebenarnya tak perlu Anda jawab karena sejatinya memang tidak untuk dijawab. Kalaupun Anda mau menjawabnya, silakan saja. Saya tidak memaksakan hal itu. Pertanyaan di atas sengaja saya lontarkan hanya untuk melatih diri saya agar terbiasa bertanya. Mengapa? nanti akan saya jelaskan.

Sejak lahir, sebenarnya manusia sudah dan akan selalu diliputi oleh banyak tanda tanya. Mulai dari perkara sederhana yang bisa dengan mudah dijawab hingga perkara kompleks dan menuntut banyak energi serta waktu untuk menjawabnya. Sebut saja tanya itu berupa mengapa ia dilahirkan dari seorang ibu yang (anggap saja) tergolong keluarga sederhana? Mengapa dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan?, mengapa harus menangis ketika seorang bayi keluar dari rahim ibunya?, mengapa tubuh manusia ada yang mengalami pertumbuhan atau bahkan tidak terjadi hal itu. Hingga pertanyaan yang sangat menentukan arah dan tujuan hidup manusia selanjutnya, seperti dari mana manusia berasal, untuk apa manusia dilahirkan, dan akan kemana manusia setelah fase kematian.

Sayangnya manusia tidaklah terlalu cerdas untuk bisa menjawab semua tanya itu bahkan ketika usia terus berlalu. Meskipun tentu saja juga ada yang bisa dijawab secara rasional dan memuaskan akal. Atau bisa jadi sebenarnya jawaban itu sudah tertera jelas namun lagi-lagi “keluguan” yang ada pada diri manusia membuat jawaban-jawaban itu serasa tak pernah ada. Berusaha mencari jawaban namun tak pernah menemukan. Atau parahnya memang sama sekali tak ada niat untuk mencari jawabnya.

Namun kali ini saya tidak terlalu membahas secara mendalam tentang esensi, filosofi, ataupun hal-hal lain seputar tanya. Tentu perlu waktu yang panjang serta tulisan yang bisa jadi berpuluh-puluh atau bahkan ratusan halaman untuk menuliskannya. Itupun belum bisa dikatakan sempurna. Membahas sebuah pertanyaan kadang-kadang justru berkahir dengan pertanyaan lain.

Ketika pertanyaan muncul dari seorang individu, setidak-tidaknya ada dua alasan. Pertama muncul karena murni ketidaktahuan, dan kedua karena kepentingan. Alasan kedua ini sebenarnya dapat dirincikan lagi seperti untuk menguji pengetahuan seseorang, menggoyahkan hati dan fikiran orang lain, mengajak berdebat, ingin mempermalukan salah satu pihak, iseng, menghabiskan waktu luang, dan lain-lain.

Adapun alasan karena ketidaktahuan sehingga muncul sebuah pertanyaan, adalah sesuatu yang wajar bahkan menjadi wajib dilakukan. Harus ditanyakan jika itu menyangkut hal-hal penting untuk diketahui dalam hidup manusia. Ketidaktahuan yang dipelihara selama bertahun-tahun tak ubahnya seperti melakukan investasi keburukan di masa mendatang.

Meski demikian, filter pada pertanyaan yang diajukan haruslah ada. Artinya tidak semua tanya harus ditanyakan. Bagaimanapun sesuatu yang berlebihan tidaklah baik. Ada pertanyaan yang harus kita cari sendiri jawabannya tanpa harus pertanyaan itu terlontarkan. Harus diingat pula bahwa ada pertimbangan lain saat mengajukan tanya seperti halnya situasi dan kondisi. Jika ada orang-orang sedang berusaha keras memadamkan kebakaran, namun tiba-tiba ada seseorang yang menanyakan bagaimana cara membuat kue bolu yang enak, apakah hal itu tepat dilakukan. Meskipun itu ditanyakan karena ketidaktahuan dan bagi penanya penting untuk mengetahuinya. Namun tetap saja salah karena “timing” yang tidak tepat.

Sebutan orang yang “kepo” misalnya. Muncul karena serangkaian pertanyaan yang itu ditujukan  secara “ekstrim” kepada orang lain dengan mengangkat tema yang harusnya bukan untuk dipublikasikan. Katakanlah mereka benar-benar bertanya karena tidak tahu dan kemudian ingin tahu, namun muncul pertanyaan; sepenting apakah mengetahui hal tersebut. Belum lagi jika berhadapan dengan orang yang tertutup, antisipatif, dan tidak suka dengan banyak tanya. Tidak menutup kemungkinan di situ akan terjadi konflik.

Belum lagi jika berbicara mengenai orang yang “sok” kritis. Orang semacam ini seringkali melemparkan pertanyaan yang tajam dan mendalam. Secara kasat mata, terlihat “elegan” karena bisa menunjukkan bahwa penanya adalah orang yang pemikir. Namun sangat disayangkan bahwa semua pertanyaan itu bisa saja sekadar lalu. Seperti pepatah, “masuk telinga kanan, keluar telinga kiri”. Itu terjadi karena memang tujuannya hanya untuk mendapatkan kepuasan ketika orang lain bungkam dengan pertanyaannya. Tipikal orang semacam ini seringkali membuat kesal orang lain dan menyia-nyiakan kesempatan.

Lalu bagaimana dengan orang yang bertanya, yang itu justru dapat melawan kebathilan. Katakanlah ada seseorang yang difitnah salah padahal ia benar, lalu kemudian ia menyodorkan pertanyaan pada orang-orang yang ia yakini berada di balik itu, dengan pertanyaan yang pada akhirnya dapat membungkam orang tersebut. Apakah itu salah? Menyikapinya tentu dengan mengembalikan pada konteks yang ada. Pertanyaan memang bisa dibuat untuk melakukan serangan balik kepada orang lain. Di sinilah tujuan memegang peran penting. Untuk apa hal itu dilakukan, apakah untuk kebaikan atau keburukan. Dari situlah dapat dinilai kebenarannya.

Posisi terpojokkan tidak selalu ada pada diri si penanya. Kadang kala, justru si penerima pertanyaan juga menunjukkan tindakan-tindakan yang kurang tepat. Lebih parah jika ada orang yang menawarkan agar orang lain bertanya, namun setelah pertanyaan terlontar justru dijawab dengan jawaban yang membuat penanya malah menjadi malu, takut, bahkan trauma.

Contoh mudahnya misal di dalam kelas perkuliahan. Seorang dosen membuka sesi tanya jawab kepada para mahasiswanya. Tak lama, salah seorang mahasiswa itu bertanya dengan niat mencari tahu. Terbayang jika ternyata jawaban dosen sama sekali tidak diduga dengan mengatakan, misalnya:
(a)    “Ini pertanyaan yang tidak berbobot sama sekali”
(b)   “Kamu ini mau bertanya atau apa?”
(c)     “Orang yang bertanya seperti ini pasti malas belajar”
(d)   “Pertanyaan ini menunjukkan bahwa ada masalah dalam pola fikirmu”
(e)    (dan masih banyak lagi jawaban serupa bahkan lebih parah)

Jawaban-jawaban yang muncul itu tentu saja sangat tidak diharapkan oleh si penanya. Apa jadinya jika bukan jawaban, melainkan rasa malu yang ditanggungnya.

Dalam hal inilah diperlukan kebijaksanaan dan kesadaran dalam menanggapi sebuah pertanyaan. Tentu saja dalam konteks pertanyaan tersebut diajukan dalam rangka mencari tahu, bukan sekadar iseng belaka apalagi pura-pura bodoh. Jika berada dalam konteks ini, maka kurang pantas rasanya jika dijawab dengan amarah, emosi, bahasa yang kasar, ataupun sampai menghina si penanya. Secara logika, memangnya siapa yang ingin memelihara ketidaktahuan. Apa salahnya memberikan jawaban yang proporsional. Toh, energi yang dikeluarkan akan sama saja. Setidaknya bisa menjaga perasaan si penanya.

Memang yang menjadi masalah selanjutnya adalah terjadinya bias antara orang yang bertanya karena ketidaktahuan kemudian sungguh-sungguh ingin mencari tahu, dengan orang yang bertanya untuk kepentingan, seperti yang disinggung sebelumnya. Salah dalam menilai, maka akan salah pula dalam memberikan respon. Padahal dua hal ini akan selalu ada. Bisa jadi kita juga pernah mengalaminya, baik sebagai penanya ataupun penjawab, baik sebagai penanya karena rasa ingin tahu ataupun sekadar kepentingan.

Lantas, apa yang sekarang bisa saya lakukan? Oh tidak, saya sebenarnya tidak paham dengan tulisan di atas, memang apa maksudnya?

Ah sudahlah, memang tidak akan pernah habis membahasnya. Seperti yang saya katakan di awal, membahas pertanyaan justru bisa berakhir dengan pertanyaan.

Semoga tetap semangat menjalani hidup!!!

sumber gambar : pixabay.com

Kamis, 24 Mei 2018

“Hug Me”; Ketika Umat Islam Mencari Pengakuan

Mei 24, 2018 2
“Hug Me”; Ketika Umat Islam Mencari Pengakuan

Menjelang memasuki bulan suci Ramadhan, masyarakat Indonesia kembali digoncang ketakutan ketika serangkaian aksi bom bunuh diri dilancarkan para teroris di beberapa gereja dan markas polisi di Surabaya. Rentetan kejadian terjadi dalam rentang waktu yang relatif singkat. Aksi ini pun memakan korban jiwa, baik yang berasal dari pihak kepolisian, masyarakat sipil, dan tentunya teroris itu sendiri.  
                                       
Tak hanya menjadi sorotan utama publik Indonesia, aksi ini bahkan telah menjadi perbincangan dunia, khususnya negara-negara yang punya sejarah kelam dengan terorisme. The Guardian yang merupakan media berpengaruh di Inggris bahkan menuliskan artikel yang berjudul “Surabaya Blast: family of five carried out bomb attack on Indonesia police station”. Selain The Guardian, beberapa media asing lainnya juga menyoroti seperti The Indhependent, BBC, dan The New York Times.

Seperti yang saya duga, ketika aksi bom terjadi di tempat ibadah dan pelakunya memakai pakaian yang sangat identik dengan Islam, maka mulai dari sini muncul serangan pada umat Islam dan ajarannya. Dilihat dari sejarah, hal semacam ini sebenarnya bukanlah pertama kalinya terjadi. Ketika dulu juga sedang marak terjadi pengobaman, baik di luar atau dalam negeri, semua bermuara pada hal yang sama; menyudutkan Islam. Sampai-sampai Islam dikatakan sebagai agama intoleran dan sumber terorisme. Naudzhubillah.

Jika dilihat dari media sosial saja, terbukti bahwa banyak yang kemudian menyangkutpautkan hal ini dengan orang-orang yang dituduh radikal yang ingin mendirikan negara Islam. Tuduhan ini tentunya tidak mendasar dan amat menyesatkan. Ketika mendirikan Daulah Islam di Madinah, Nabi Muhammad tidak pernah menggunakan cara-cara kekerasan apalagi sampai membunuh orang-orang yang tidak tahu apa-apa. Oleh karena itu, jika ada yang mengklaim bahwa aksi itu untuk mendirikan negara Islam, maka itu semua hanyalah kebohongan. Begitupun dengan mereka yang menuduh aksi itu untuk mendirikan negara Islam, adalah sebuah kekeliruan karena bukan begitu metode yang harusnya dilakukan. Dari semua itu yang lebih parah adalah bangkitnya virus Islamophobia yang kembali menjangkiti bangsa ini.

Perempuan bercadar atau orang-orang yang berpakaian Islami menjadi sasaran empuk para pengidap Islamophobia. Saya sudah membaca beberapa kasus yang saya dapat dari berbagai media. Ada wanita bercadar yang diusir dari angkot, menjadi korban salah tangkap karena sering ikut pengajian dan (lagi-lagi) bercadar, hingga yang sempat viral adalah video seorang santri yang diperiksa aparat kepolisian karena membawa tas dan kotak kardus.

Tak lama semenjak itu, masih dari media sosial, saya mengamati ada semacam tren, di mana orang-orang mencoba membuat sebuah ekperimen sosial yang saya sebut “Hug Me”. Aksi ini dilakukan oleh perempuan-perempuan bercadar yang berdiri di tengah keramaian sambil membawa sebuah papan bertuliskan “Jika Anda Merasa Aman, Peluk Saya.” atau tulisan serupa lainnya. Ini dilakukan untuk mengetahui apakah orang-orang masih takut dengan perempuan bercadar atau tidak. Setahu saya, aksi ini dilakukan pertama kali oleh seorang laki-laki di luar negeri yang waktu itu memang sedang terjadi Islamophobia tingkat akut.

Saya cukup mengapresiasi dengan eksperimen sosial semacam ini. Setidaknya mereka berusaha melawan stigma yang terlanjur disebarkan ke otak masyarakat. Islamophobia memang tidak boleh menyebar karena ia serupa racun tak terlihat yang lambat laun membuat orang yang terkena akan mati dengan mengenaskan.

Akan tetapi ada satu hal yang amat mengiris hati, yakni ketika umat Islam seolah sedang berjuang memperbaiki citranya yang buruk di negara yang mayoritas muslim dan sering kali mengklaim sebagai negara yang beragama dan menjunjung tinggi agama. Sebuah pemandangan yang sungguh ironis dan tak habis fikir. Bagaimana mungkin dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar ini namun masih ada yang memasang stereotip negatif pada ajaran agamanya sendiri, seperti penggunaan cadar dan baju kurung yang itu merupakan bagian dari agama.

Entah akan sampai kapan terus terjadi. Kita tak tahu, apakah ketika misalnya nanti kembali terjadi aksi pengeboman serupa, dan lagi-lagi umat Islam harus berjuang untuk melawan semua tuduhan dan mencari pengakuan bahwa Islam bukan ajaran yang keras apalagi terkait dengan motif terorisme.

Dari fenomena semacam ini setidaknya dapat kita lihat bahwa masyarakat masih memisahkan antara perasaan, pemikiran, dan peraturan hidupnya. Masyarakat mungkin masih merasa bahwa ia berada dalam lingkup yang Islami karena ada banyak masjid ataupun besarnya pemeluk Islam. Akan tetapi kontras dengan pemikirannya yang justru mengarah pada selain Islam, termasuk peraturan hidupnya. Atau bisa jadi sebaliknya. Masyarakat merasa memiliki konsep berfikir Islami namun tidak dengan perasaannya.

Bisa kita amati misalnya para teroris merasa dirinya sangat dekat kepada Allah sehingga rela melakukan aksi bom bunuh diri yang mereka sebut sebagai jihad. Hanya saja mereka salah dalam segi pemikiran yang justru harusnya menjauhi aksi keji semacam itu karena tidak pernah diajarkan nabi. Sama halnya dengan orang-orang yang punya stigma negatif kepada perempuan bercadar. Mereka sebenarnya juga memiliki perasaan Islami terlebih menjelang Ramadhan. Namun lagi-lagi akibat pemikiran yang tidak Islami, akhirnya stigma-stigma negatif dan segala macam bentun nyinyiran itulah yang muncul ke permukaan.

Berbeda halnya jika masyarakat sudah memiliki perasaan, pemikiran, dan peraturan yang memang bersandar pada Islam. Tentu tidak akan terjadi hal-hal semacam ini. Akan menjadi sangat parah lagi ketika tiga unsur ini-perasaan, pemikiran dan peraturan, sama-sama tidak berlandaskan pada Islam, yang pada akhirnya membuat seseorang akan merasa asing dengan agamanya sendiri. Semoga kita terhindar dari hal demikian. Wallahu a’lam bisshawab.

*sumber gambar : girlisme.com

Jumat, 20 April 2018

Mengenang 212 dan Sore di Kota Tua

April 20, 2018 0
Mengenang 212 dan Sore di Kota Tua

Rangkaian acara the 16th Journalis Days yang diadakan Badan Otonom Economica FEB UI akhirnya telah selesai. Selama 4 hari penuh kami menjalani jadwal yang padat dan cukup melelahkan. Sebagaimana lazimnya pertemuan yang akan bermuara pada perpisahan, tentu saja ada rasa sedih tatkala harus berpisah dengan teman-teman yang sudah seperti saudara sendiri. Meski baru mengenal mereka dalam waktu kurang lebih 4 x 24 jam, namun rasa-rasanya telah terjalin hubungan yang erat.

Suasana sore hari di FEB UI kami habiskan dengan berfoto bersama serta bersenda gurau. Tak lupa juga berpamitan dengan seluruh panitia yang sudah melayani dengan setulus hati. Jarak yang jauh memisahkan kami, mungkin akan benar-benar menjadi penghambat untuk bisa bersua kembali. Namun semoga saja ada saatnya untuk bertemu lagi.

(sampai jumpa lagi kawan-kawan)

Meski acara telah berakhir, aku dan temanku masih belum memesan tiket pesawat untuk pulang. Beberapa hari yang lalu, ketika kami mengenal Ical yang memang satu kamar dengan kami, serta Endang yang merupakan partner Ical, kami telah merencakan untuk pergi ke beberapa objek wisata di Kota Jakarta. Alasannya simpel, kami yang datang jauh-jauh dari Kalimantan dan Makassar ini, rasanya rugi jika tidak berlibur ke Jakarta. Jarak antara Depok dan Jakarta juga tak terlalu jauh. Memang di hari ketiga kami mengikuti training di Jakarta, namun itu bukanlah sebuah liburan. Bermodal nekad, kami pun menyusun rencana.

Ada banyak sekali pilihan tempat wisata yang ingin kami kunjungi. Mulai dari Monas, Ancol, TMII, Masjid Istiqlal, Ragunan, Kota Tua dan lain-lain. Dari beberapa pilihan tersebut terpaksa kami kerucutkan untuk menyesuaikan dengan waktu yang kami punya. Akhirnya disepakati tempat yang akan kami tuju adalah Monas, Masjid Istiqlal, dan Kota Tua.

Pagi Jumat kami segera mengemas barang-barang dari Margonda Residence. Selama di Jakarta, nantinya kami akan menginap di rumah Mas Towik yang merupakan kenalan Endang. Alamatnya ada di Jeruk Purut. Setelah selesai berkemas, kami turun ke bawah untuk menyerahkan kunci dan menunggu Grab datang menjemput.

Perjalanan kami lalui dengan hati yang senang. Selama di mobil, ku lihat hanya aku dan sang sopir yang tetap terjaga. Tiga orang lainnya tertidur ayam. Mungkin karena masih kecapaian. Aku sendiri sengaja tidak tidur karena ingin melihat secara langsung Kota Jakarta. Di beberapa tempat, aku sengaja membuka kaca mobil agar bisa melihat dengan lebih jelas.

Kami akhirnya sampai di rumah mas Towik meski sebelumnya sempat bingung mencari lokasinya. Rumah mas Towik berada tepat di samping pekuburan Jeruk Purut. Meski kuburan, nyatanya tempat itu sangat rapi dan terawat. Rumput-rumput hijau tumbuh subur sehingga lebih mirip seperti taman. Setelah menaruh barang-barang di kamar atas, kami kemudian disuguhkan makan. Karena memang sudah lapar, kami sikat saja semua makanannya. Perjalanan yang cukup panjang nantinya juga menuntut kami untuk punya cadangan tenaga yang lebih.

Tempat utama yang kami datangi adalah Monas. Kami kesana menaiki Grab. Kemacetan tak terhindarkan sehingga kami baru bisa sampai disana sekitar pukul 12.30 atau mendekati waktu solat Jumat. Dengan waktu yang terbatas itu, kami manfaatkan semaksimal mungkin untuk menikmati kawasan Monas yang begitu luas. Di depan kami, tugu Monas berdiri gagah seolah menopang langit.

(Ibul, Fadil, dan Ical) 

Tak terasa waktu solat Jumat semakin dekat. Awalnya kami ingin menunaikan solat Jumat di Masjid Istiqlal. Namun mengingat waktu yang semakin mepet dan jarak ke Istiqlal cukup memakan waktu, akhirnya kami solat Jumat di masjid yang ada di kawasan Lenggang Jakarta yang masih dalam kawasan Monas. Masjid itu tak terlalu besar, mungkin lebih mirip dengan musholla saja. Tapi cukup menampung jamaah untuk solat Jumat. Adapun tema khutbah saat itu membahas tentang riba.

Selesai solat, kami melanjutkan perjalanan menyusuri kawasan Monas dengan berjalan kaki. Tak lupa juga kegiatan berfoto yang wajib dilakukan, terlebih bagi kami yang mungkin akan sangat jarang ke tempat ini. Dari kejauhan, nampak barisan panjang mengular di pelataran Monas. Hal itu jualah yang membuat kami mengurungkan niat untuk naik ke sana. Kami lebih banyak menghabiskan waktu di taman-taman yang ada. Waktu itu terik matahari benar-benar membakar kulit.

Selain mengagumi keindahan Monas, ada satu hal lain yang bisa aku rasakan. Pikiranku kembali teringat akan sebuah peristiwa besar yang pernah terjadi di kawasan Monas ini. Saat itu, tepat pada tanggal 2 Desember 2017, jutaan orang dari berbagai daerah, latar belakang, hingga aliran, berkumpul di tempat ini. Mereka datang bukan karena mobilisasi oleh pihak tertentu, tapi aku meyakini bahwa kekuatan iman dan seruan hati nurani untuk membela agamalah yang menggerakkan mereka. Aksi bersejarah itu kemudian dikenal dengan Aksi Damai 212. Suatu peristiwa yang masih segar di benak banyak orang

Sekadar merefresh ingatan kita, bahwa Aksi 212 menunjukkan kepada dunia bahwa umat Islam masih punya ghirah atau semangat berislam yang tinggi. Siapa saja yang berani menistakan ajaran Islam, maka tunggulah reaksi dari umat yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini. Umat Islam tidak mencari musuh, namun ketika agama dihina ataupun dinista, maka jangan salahkan umat Islam jika berontak.

Setelah puas di Monas, selanjutnya kami menuju masjid Istiqlal. Sebelum itu tak lupa kami membeli oleh-oleh terlebih dahulu. Aku sendiri membeli baju, gantungan kunci, magnet kulkas, dan miniatur monas. Harganya lumayan terjangkau. Oleh-oleh itu nantinya bisa dibagikan di rumah.

Menuju Masjid Istiqlal, kami mencoba menaiki Bis Tingkat Wisata yang disediakan Pemkot DKI secara gratis. Tak perlu menunggu lama, sebuah bis bertingkat singgah di halte yang disediakan. Kami pun masuk ke dalam bis dan mencari posisi duduk di bagian atas.

(ternyata yang gratisan enak juga)

Untuk sampai ke Masjid Istiqlal, bis ini tidak langsung kesana, tetapi melalui beberapa rute lain terlebih dahulu. Sebenarnya jarak dari Monas ke Masjid Istiqlal tidak terlalu jauh, cuma karena ini bis berputar-putar dulu jadi terasa lebih lama sampainya. Tapi hal itu tidak menjadi masalah.

(countdown Asian Games di bundara HI)

Sesampainya di Istiqlal, kami disambut oleh anak-anak yang menjajakan kantong kreseknya. Waktu ashar sudah masuk kala itu. Kami pun mempercepat langkah kaki. Jamaah lainnya juga terus berdatangan. Setelah mengambil wudhu dan menaiki beberapa anak tangga, akhirnya kami benar-benar bisa masuk ke ruang induk masjid.

Rasa kagum dan ketidakpercayaan masih aku rasakan seraya mengangkat takbir bersama ratusan jamaah lainnya. Masjid yang dibangun era Soekarno ini benar-benar luas dan megah. Tihang-tihang utamanya begitu besar. Masjid ini juga terdiri dari beberapa tingkat. Kalau biasanya aku melihat masjid ini ketika siaran solat Jumat berlangsung di TVRI, kini bisa aku rasakan sendiri bagaimana atmosfer yang luar biasa dalam masjid ini.


Lagi-lagi, ingatan akan Aksi Damai 212 itu kembali menyeruak. Masjid ini tentu menjadi saksi bisu akan peristiwa bersejarah tersebut. Masjid ini merupakan salah satu basis dan tempat berkumpul sekaligus beristirahat para jamaah, terutama bagi mereka yang datang dari tempat jauh. Coba aku bayangkan, bagaimana saat itu masjid ini menjadi lautan manusia berpakaian serba putih dengan pekikan takbir yang membara. Meski banyak pula orang-orang di luar sana yang nyinyir dengan mereka, tapi toh semua yang dilakukan semata-mata sebagai wujud tanggung jawab kepada Allah. Mereka hanya ingin menempatkan diri pada barisan yang membela agama. Sayang, aku berada jauh dari masjid ini sehingga hanya sederet doa yang saat itu bisa aku langitkan.

Usai solat, aku tak langsung beranjak. Aku mengarahkan pandangan ke sekelilingku. Saat itu masjid cukup ramai dengan banyaknya para jamaah. Aku dan temanku juga mencoba menyisir beberapa tempat yang kami lalui, termasuk sebuah tempat luas dan lapang. Dari sana terlihat gedung-gedung tinggi yang mengelilinginya. Tak lupa aku mengambil foto sebagai kenang-kenangan saja.


Kami kemudian berkumpul kembali di titik yang tadi kami sepakati. Sebelum menuju Kota Tua, kami mencari makan sebentar di tempat para pedagang. Disana aku memesan sepiring ketoprak. Seusai itu perjalanan kami lanjutkan masih menggunakan Bis Tingkat.

Setibanya di Kota Tua, terlihat lalu lalang manusia yang begitu banyak disana. Suasana sore itu benar-benar ramai hingga ke dalam kawasan Kota Tua. Untuk pertama kalinya, aku bisa secara langsung menyaksikan bangunan-bangunan tua yang sudah ada sejak era kolonial. Di kawasan itu terdapat beberapa museum, kantor, bahkan Indomaret sekalipun.

Kegiatan yang kami lakukan selain mengamati satu per satu bangunan, tentu saja berfoto di tempat-tempat yang bagus. Matahari yang tak lagi terlalu bersinar membuat suasana menjadi teduh. Para penyanyi jalanan hingga orang-orang yang bersepeda membuat sore semakin mengasyikkan.


Hari mulai berganti. Perasaa capek akibat beraktivitas seharian juga telah terasa. Kami pun pulang. Awalnya kami ingin memesan Grab Car. Namun setelah melihat biaya yang cukup tinggi, kami akhirnya memutuskan untuk menggunakan kereta api terlebih dahulu, baru dilanjutkan dengan Grab. Kami menuju Stasiun Kota yang terletak tak jauh dari Kota Tua. Ini adalah pengalaman pertamaku menggunakan kereta api karena di Kalimantan memang masih belum ada.

(capek bro...)

Apa yang kami alami hari ini adalah perjalanan yang tak terlupkan sampai kapanpun. Ada banyak tempat yang kami singgahi dan cerita yang kami temui. Semoga perjalanan ini tak sekadar untuk berlibur, tetapi menjadi jalan untuk semakin mendekatkan diri pada sang pencipta semua ini. Selama perjalanan pulang, momen-momen menyenangkan hari ini kembali melintas dalam benakku. Masya Allah. Mahasuci Allah.

Senin, 16 April 2018

Kompetisi Berujung Silaturahmi

April 16, 2018 0
Kompetisi Berujung Silaturahmi


TANAH JAWA ITU AKHIRNYA…
Setibanya di Bandara Seokarno Hatta Tangerang Banten sekitar menjelang ashar, hanya ribuan syukur yang bisa aku ucapkan. Ada rasa haru, senang, dan bangga yang bergejolak dalam hati. Untuk pertama kalinya, akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di tanah Jawa ini, sebuah cita-cita yang dulu pernah aku mimpikan. Sekarang, mimpi itu sudah di depan mataku. Sulit memang untuk dipercaya dan diungkapkan dengan sederet kata.


(sekadar untuk mencoba kamera saja kok)

Tas ransel berwarna campuran hitam & biru serta sebuah koper ukuran sedang, aku tarik perlahan sambil menikmati keindahan salah satu bandara kebanggan Indonesia ini. Tak lupa aku segera memakai almamater  agar memudahkan panitia menjemput. Tak lama, dua orang perempuan datang menghampiri kami. Mereka adalah panitia yang memang bertugas menjemput kami sore ini. Setelah berkenalan singkat, kami melanjutkan perjalanan menggunakan mobil menuju Apartemen Margonda Residence 2 (Mares 2) Depok, tempat kami menginap selama di sana.

Tujuan untuk langsung ke Mares 2 sedikit berubah karena ternyata panitia harus ke FEB UI terlebih dulu untuk mengambil kunci kamar kami. Perjalanan yang cukup jauh kami lalui sambil menikmati keindahan kota, lalu lalang kendaraan, hingga kereta api yang tentunya tak bisa kami temui di Kalimantan. Perasaan capek mulai tergantikan seiring pemandangan baru yang bisa disaksikan.

Memasuki wilayah Universitas Indonesia, aku seolah tak ingin mengedipkan mata. Bagi aku yang memang berasal dari “pedalaman” Kalimantan, wajar jika terpesona dengan universitas yang menjadi langganan sebagai universitas terbaik di Indonesia ini. Selain itu, kampus ini menjadi dambaan banyak orang untuk bisa berkuliah disana. Aku segera meluruskan posisi duduk dan sedikit menempelkan wajah di dekat kaca mobil. Di luar sana, hilir mudik para mahasiswa dengan segala aktivitasnya benar-benar hidup.

Mobil yang kami tumpangi kemudian berhenti di tempat parkir FEB UI. Kami semua turun dari mobil dan menuju selasar. Aku dan satu orang temanku kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sambil mencari musholla di sekitar sini mengingat waktu ashar hampir berakhir. Sebuah kolam besar dengan lambang UI di tengahnya seolah menyambut kami.

(dari yang saya baca, kolam ini dibuat atas bantuan para orang tua mahasiswanya lo)

Setelah menunaikan solat ashar disambung magrib, kami kemudian berangkat lagi menuju apartemen. Kamar kami berada di lantai 20. Tentu saja, ketika sampai di kamar, hal pertama yang aku lakukan adalah membuka tirai dan melihat pemandangan kota Depok dari ketinggian. Hasilnya…Masya Allah.

(Kiri ke kanan: gambar dari ketinggian lantai 20. Apartemen Margonda Residence 2)


KEGIATAN YANG SANGAT PADAT : Hari Pertama
Kegiatan The 16th Journalist Day yang diadakan Badan Otonom Economica (BOE) FEB UI ini diselenggarakan selama 4 hari, dimulai dari Senin sampai Kamis (9 s.d 12 April 2018). Tema yang diangkat kali ini adalah “The Future of Data Driven Journalism”. Diawali dengan perlombaan Paper yang telah dilaksanakan sebelumnya hingga terjaring sebanyak 15 tim (1 tim terdiri dari 2 orang) dan diundang untuk datang ke FEB UI. Meski demikian ternyata hanya ada 14 tim saja karena 1 tim sudah mengundurkan diri.

(ini dia kawan-kawan dari UB. Foto diambil di hari kedua)

Hari pertama di awali dengan acara Seminar. Sesuai dengan arahan, kami berangkat dengan dijemput panitia. Selama menunggu panitia menjemput, kami sempat berkenalan dengan 2 tim dari Universitas Brawijaya yang juga menunggu jemputan. Kami terlibat perbicangan hangat hingga akhirnya panitia datang. Seminar ini dilangsungkan di Auditorium R. Soeria Atmadja FEB UI dan dimulai dari pukul 08.30 WIB. Sesi 1 menghadirkan Abdul Manan, Zen RS, Rahadian P. Paramita dengan moderator Aghnia Adzkia. Untuk sesi 2 menghadirkan Metta Dharmasaputra, Wahyu Dhyatmika, dan Kholikul Alim.




Setelah selesai seminar, dilanjutkan Tehnical Meeting dengan panitia. Semua peserta berkumpul dan menjadi ajang saling berkenalan. Awalnya kami mengira bahwa kami adalah peserta yang paling jauh, nyatanya juga ada peserta lainnya dari Medan dan Makassar. Di forum itu kemudian dijelaskan terkait peraturan dan beberapa perubahan jadwal. Setelah selesai, semua peserta pulang kembali ke penginapan dengan diantar panitia. Jempol gede buat panitianya. Mereka benar-benar melayani, ramah dan cakep semua (wkwkwk).


Hari Kedua : Deg-degan hingga Kedatangan Anak Makassar
Hari kedua ini adalah jadwalnya presentasi dari paper yang sudah kami buat. Jujur, latihan kami tidak terlalu lama. Power Pointnya pun baru kami siapkan beberapa hari yang lalu. Sebelumnya kami mengira bahwa presentasi akan dilaksanakan di hari keempat atau Kamis sehingga ada banyak waktu untuk latihan. Tapi ternyata kami salah. Dengan kekuatan the Power of Kepepet, PPT dan latihan pun kami lakukan dengan tempo yang secepat-cepatnya. Meski begitu, kami tentu tidak mau membuat malu almamater. Kami pun berusaha sebisa dan semaksimal mungkin.
           
Semua tim dibagi ke dalam tiga kelas sesuai subtema masing-masing. Nantinya setiap tim diberi waku 20 menit, dimana 10 menit presentasi dan 10 menit tanya jawab. Disini kami dipertemukan dengan tim dari UB, Unair dan UGM. Aku sendiri merasa deg-degan karena harus bertemu dengan mereka yang berasal dari universitas ternama. Ditambah lagi diakhir sesi akan ada pertanyaan dari satu orang juri yang sudah pakar dibidangnya. Aku berharap agar presentasi ini tidak berakhir seperti sidang skripsi. Mohon…mohon…hidupku masih panjang.
           
Meski kami urutan terakhir, namun waktu seolah tak terasa. Kini giliran kami telah tiba. Dengan mengucap bismillah, kami mulai sesuai dengan kemampuan yang kami punya. Perasaan gugup itu menyeruak di awal penyampaian. Mataku memandang liar ke arah juri, peserta lain, hingga catatan kecil yang aku bawa. Hingga akhirnya, perlahan aku mulai menikmati presentasi ini. Beberapa pertanyaan juri yang dilemparkan berhasil kami jawab. Hasilnya…hanya juri yang tahu.

           (suasana saat presentasi)

Setelah beberapa lama, keempat tim akhirnya selesai presentasi. Kegiatan selanjutnya adalah Focus Discusion Group yang dipandu seorang panitia sebagai moderator. Disini kami berdiskusi tentang tema yang kami angkat yaitu, Jurnalisme Data: Disrupsi Terhadap Lanskap Industri Media?. Semua peserta mengeluarkan pendapatnya dan diskusi berlangsung lancar.
           
Satu hal lagi yang spesial di hari kedua ini. Secara “mengejutkan”, disaat  beristirahat di malam harinya, kami kedatangan teman baru dari Makassar. Mulai malam itulah, lelaki yang kami panggil Ical ini resmi bergabung di kamar H2021 sekaligus menjadi pemanjang cerita kami selama berada di Depok ini.

(Nah ini dia si Ical from Makassar)

Hari Ketiga : Go Jakarta
Hari ketiga ini tampaknya menjadi hari yang cukup menyenangkan sekaligus melelahkan. Sesuai jadwal yang diberikan panitia, kami akan mengikuti Training yang dilaksanakan di Jakarta Creative Hub (CJH). Karena berlokasi di Jakarta, maka kami berangkat lebih pagi dari biasanya. Faktor kemacetan menjadi penyebab utamanya. Meski kami sudah berangkat pagi, nyatanya tak bisa terhindar dari macet dan macet.
           
(gedung-gedung tinggi dari kaca mobil)

Jakarta sudah pasti identik dengan banyaknya gedung-gedung menjulang tinggi. Hal itu memang benar adanya dan bisa aku lihat secara langsung, terutama ketika melintasi daerah Kuningan (kalau gak salah ya). Kiri kanan hanya didominasi gedung pencakar langit yang tingginya melebihi tower BTS. Kami yang berada di bawah terasa sangat kecil.
           
Waktu tempuh dari Mares 2 ke JCH cukup memakan waktu, sekitar satu setengah jam perjalanan. Di luar dugaan, rupanya maag ku kambuh disaat tidak tepat. Perut mulai sakit dan badan ku terasa lemas. Aku mulai panik. Sudah jauh-jauh datang kesini, masa aku harus terbaring sakit. Ya Allah apakah aku akan berakhir disini? (korban sinetron). Tak ingin berlarut-larut dengan penyakit lamaku itu, sisa sarapan yang sengaja aku bawa tadi, ku coba memakannya lagi untuk menetralisir asam lambung. Beruntung, obat maag juga tersedia dalam tasku dan segera aku minum. Perlahan kondisiku mulai baikan.

           (hmmm)

Dikesempatan ini kami belajar tentang analisis dan visualisasi data yang dibawakan oleh tim dari Katadata dan Beritagar. Satu hal yang membuat aku agak “gimanaaa gitu…”, kami ternyata belajar menggunakan excel. Entah kenapa, saat itu juga aku teringat mata kuliah Manajemen Keuangan yang setiap minggu diberi tugas dan dikerjakan menggunakan excel. Hari ini aku menemui hal itu kembali. Untunglah narasumber tidak memberikan tugas tambahan sehingga tidak semakin mengingatkanku akan masa lalu (Lupakan saja yang ini). Menjelang waktu magrib, training pun berakhir. Selesai solat dan berfoto ria, kami segera kembali ke Mares diantar panitia. Hmmm..panitia baik deh.

Malam itu menjadi malam yang sangat melelahkan. Bukan saja karena perjalanan yang cukup jauh, tetapi semua tim diberikan tugas membuat feature investigasi yang berbasis data. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi kami terlebih bagi aku yang belum pernah membuat tulisan dengan genre semacam itu. Topik yang ingin kami diangkat pun masih mengalami kebuntuan.
           
Seperti yang diperkirakan sebelumnya, bahwa tidak mudah menciptakan sebuah tulisan dengan segala macam data dan referensi yang valid. Ditambah lagi dengan rasa capek sehabis beraktivitas seharian dan kantuk yang bersahutan dengan suara pendingin ruangan. Namun saat itulah ada sebuah pemandangan yang tidak biasa, yaitu kami kedatangan dua tim yang juga mengalami nasib sama; dikejar deadline tulisan.
           
Akhirnya malam itu kami lalui bersama-sama. Ada yang mengerjakan di atas kasur, di meja, depan TV, dan di bawah kasur. Namun semua itu bukanlah sebuah perbedaan karena kami adalah bangsa Indonesia yang bersatu. (Skip saja yang ini).
           
Mungkin terasa aneh karena kami sebenarnya berada dalam nuansa kompetisi namun disaat yang sama kami mengerjakan tulisan dengan berbarengan. Padahal tulisan itu juga menjadi bahan penilaian. Namun nyatanya sama sekali tak terasa ada aroma pertempuran. Justru yang ada tercipta rasa kekeluargaan dan saling membantu. Kami mengerjakan tulisan itu terasa bukan lagi untuk kompetisi melainkan seperti hanya untuk dikumpulkan kepada dosen.
           
Yang lebih menakjubkan, kebanyakan dari kami mengerjakan tulisan itu benar-benar menghabiskan waktu satu malam. Aku dan teman satu tim ku menerapkan sistem shift. Jadi ketika aku mengerjakan, maka temanku akan tidur. Begitupun sebaliknya. Hal ini kami lakukan agar bisa beristirahat. Namun beda halnya dengan tim lain yang justru tidak tidur sama sekali. Benar-benar perjuangan yang luar biasa dan tak terlupakan. Sebelumnya bahkan kami sempat berencana “jahat” untuk tidak mengerjakan tulisan tersebut karena keterbatasan waktu dan ide, namun ternyata Allah masih sayang kepada kami.
           
Keesokan paginya, ketika menunggu jemputan di sofa lantai 1 Mares, aku bertanya dengan peserta lainnya terkait proses pengerjaan tulisan mereka. Rata-rata hampir sama; waktu tidur yang relatif sedikit. Tapi tak mengapa, kalau ini bisa membuat panitia bahagia, kami rela dan ikhlas (alay dikit).


Hari Keempat : See You
Senang rasanya kami sudah berada di hari keempat. Itu tandanya acara akan berakhir sebentar lagi. Di hari keempat ini, kami semua dikumpulkan di satu ruangan yang sama kemudian mempresentasikan hasil tulisan yang “simsalabim” jadi dalam satu malam (tanpa bantuan jin lo ya). Kali ini ada dua juri yang akan memberikan pertanyaan pada semua peserta. Tim lain juga diberikan kesempatan untuk bertanya atau menyampaikan pendapatnya.


Saat itu kami maju diurutan kedua. Dengan persiapan yang seadanya dan mata yang mengantuk, kami memaparkan hasil kerja kami sebisanya. Beruntung waktu itu hanya ada satu juri karena satu juri lainnya masih dalam perjalanan. Beberapa pertanyaan dari juri dan peserta lain bisa kami jawab. Tak jauh berbeda nasib dengan kami, Ical dan temannya justru harus siap maju diurutan pertama. Namun dibalik semua itu, ada taktik brilian yang telah kami siapkan.

(saking luasnya UI, paling tidak kita menggunakan Bis untuk bepergian ke tempat lain)            

Waktu Ishoma telah masuk. Peserta diarahkan panitia untuk mengambil makan siang. Di saat itulah, kami segera pergi. Berdasarkan rencana, kami ingin menjelajah Universitas Indonesia lebih jauh lagi. Kami merasa rugi jika sudah jauh-jauh datang ke sini namun tidak melihat secara langsung keindahan rektorat dan danau UI yang tersohor itu. Jika melihat jadwal, rasanya tidak ada waktu untuk sekadar jalan-jalan. Akhinrya dengan sedikit “diam-diam” kami keluar dari area FEB dan menaiki Bikun atau Bis Kuning yang disediakan secara gratis hingga sampai ke tempat tujuan.
           
Tempat pertama yang kami jajal adalah sebuah toko yang ada di samping masjid UI. Disana kami membeli beberapa gantungan kunci dan souvenir lainnya. Harganya cukup terjangkau dan lumayan bisa dijadikan  oleh-oleh untuk seseorang (canda kok). Setelah itu baru kami ke masjid untuk solat zuhur.

           
Tujuan selanjutnya dan yang paling utama adalah danau UI. Aktivitas yang paling seru dilakukan tentu saja berfoto. Kami mengabadikan momen itu dalam berbagai sudut. Suasana disana tenang dan teduh. Bangunan-bangunan yang mewah dan artistik juga ada disekitarnya sehingga semakin menambah pesona UI. Kami sempat bersantai sejenak sambil menikmati kilauan air danau, gedung rektorat yang aku malas menghitung tingkatannya, serta taman yang indah dan terawat.
           
Setelah puas dengan semuanya, kami kembali lagi ke FEB. Beberapa peserta masih melakukan presentasi di depan juri dan peserta lain. Hingga akhirnya, semua tim telah selesai. Pengumuman pemenang 1, 2, dan 3, serta best speaker pun diumumkan. Sayang sekali kami tidak bisa mendapatkan juara. Namun hal itu tak jadi masalah. Meski tak bisa membawa juara, tapi setidaknya ada banyak cerita yang bisa dibawa pulang dan diceritakan. Sekian.

*untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan serta menjaga privasi, maka tidak semua peristiwa bisa saya ceritakan. Namun semoga tetap bermanfaat.