Permasalahan zina dan LGBT
kembali menjadi perbincangan panas di tengah masyarakat, meski penyebaran wabah
perzinahan dan LGBT telah lama ada. Hal ini meruncing ketika sekelompok
perempuan yang tergabung dalam Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA)
melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menggugat Pasal 284
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5); Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP
tentang kejahatan asusila.
Seperti yang dikutip dari
Kompas.com, pemohon meminta pasal 284 tidak perlu memiliki unsur salah satu
orang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan..
Pasal 285, pemohon meminta MK menyatakan bahwa pemerkosaan mencakup semua
kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh
laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki.
Sementara untuk pasal 292, pemohon meminta dihapuskannya frasa “belum dewasa”,
sehingga semua perbuatan seksual sesame jenis dapat dipidana. Selain itu,
homoseksual haruslah dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih
belum dewasa atau sudah dewasa.
Namun yang terjadi justru di luar
dugaan banyak pihak. Mahkamah Konstitusi menolak semua gugatan dengan alasan MK
tidak berwenang untuk memperluas tafsir ketiga pasal dan membuat norma hukum
baru. Meski MK mengemukakan alasan tersebut, namun hal ini justru disinyalir
sebagai bentuk dukungan terhadap zina dan LGBT. Terlebih ketika sejumlah pihak
juga mempertanyakan sikap MK ini. Pro dan kontra di masyarakatpun seolah
menjadi bola panas yang terus bergulir hingga hari ini.
Dalam tulisan ini saya tidak
terlalu jauh membahas amar putusan MK tersebut. Lagipula, saya kira memang
sudah jelas bahwa hukum saat ini seolah tak mau ambil pusing khususnya untuk
kasus zina. Dalam artian, perbuatan zina boleh-boleh saja sepanjang tidak
menggangu hak dan kenyamanan orang lain. Zina yang dikenakan sanksi hanyalah
dalam bentuk pemerkosaan, pedofilia, pencabulan dan sebagainya walaupun pada
prinsipnya zina adalah semua hubungan badan yang dilakukan di luar ikatan
pernikahan.
Pertama, yang ingin saya
sampaikan bahwa dalam penciptaan manusia, kehadiran laki-laki dan perempuan
adalah sebuah kepastian. Semua orang yang bernama manusia akan mendapati
identitas dirinya sebagai salah satu dari jenis kelamin yang “sudah
disediakan”. Di dalam fitrah manusiapun, laki-laki dan perempuan adalah
pasangan yang tak terbantahkan. Tak ada suku, agama, ataupun kepercayaan yang
menolak fitrah ini. Bahkan suku terpencil sekalipun tetap melangsungkan
pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Sampai sini, bisa kita sepakati
bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai pasangan dan tak dapat
ditawar-tawar.
Kedua, sebelum menentukan hukum
terhadap sesuatu hal, alangkah baiknya jika kita memahami dulu duduk
permasalahannya. Secara umum, zina merupakan hubungan badan yang dilakukan
laki-laki dengan perempuan di luar ikatan pernikahan. Meskipun sebenarnya, zina
terbagi-bagi lagi seperti zina mata, zina pendengaran, zina suara dan sebagainya.
Dalam pandangan Islam, zina adalah perbuatan yang amat keji. Pelakunya bahkan
diancam hukuman rajam hingga mati.
Ada beberapa dampak yang
ditimbulkan dari perbuatan ini, seperti misalnya rentannya hubungan seks bebas
akibat tidak ada ikatan pernikahan yang bisa berujung pada penularan penyakit
HIV-Aids, lahirnya anak tanpa ayah, merusak garis keturunan, rasa bersalah yang
menyebabkan aborsi, depresi hingga bunuh diri, dan berbagai macam dampak
lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu. Satu hal yang pasti, bahwa
larangan dalam Islam semata-mata untuk menjaga manusia itu sendiri.
LGBT atau Lesbian, Gay, Biseksual
dan Transgender adalah suatu penyimpangan seksual di dalam diri seseorang,
bahkan dikatakan sebagai gangguan kejiwaan. LGBT juga termasuk zina karena di
Indonesia khususnya tidak memungkinkan untuk melakukan pernikahan sehingga mau
tidak mau pasti ada “hubungan” itu di luar nikah. Sama seperti zina, dalam
Islam, LGBT merupakan dosa besar.
Kecenderung menjadi LGBT bisa
disebabkan oleh beberapa faktor seperti didikan keluarga, lingkungan pergaulan,
tontonan sehari-hari, pengetahuan agama yang rendah, pengalaman hidup dan masih
banyak lagi. Apakah LGBT dapat “disembuhkan”?. Untuk menjawabnya, kita bisa
mendengar dari statement beberapa
dokter, baik melalui televisi atau berita, yang mengatakan kalau pasien mereka
banyak yang kembali ke jalan yang benar.
Dampak yang ditimbulkan dapat
dirasakan secara langsung seperti kekacauan akibat ketidakterimaan masyarakat
dengan budaya LGBT, merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, risiko penyakit
seks menular, dan ancaman kelestarian hidup umat manusia.
Ketiga, wajar sekali jika selama
ini umat Islam sangat keras menolak zina dan LGBT. Penolakan ini tentulah bersumber
dari Al-Quran yang merupakan petunjuk hidup paling benar untuk seluruh umat
manusia. Dalil-dalil yang mengharamkannya sudah sangat jelas. Silakan pula baca
kembali bagaimana kaum Nabi Luth yang menghalalkan LGBT itu diazab oleh Allah
dengan dihancurkan dan ditenggelamkannya kota mereka hingga ke dasar laut.
Dalil-dalil diantaranya:
·
“(Kami juga telah mengutus) Luth
(kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka, “Mengapa kalian
mengerjakan perbuatan Fahisyah yang
belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian?
Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu (kepada mereka),
bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas,” (Q.S.
Al-A’raf |7|: 80-81)
Sabda Rasulullah, “Siapa saja
yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (H.R.
Abu Dawud, At Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-Baihaki).
Jika umatku telah melakukan 5
perkara, maka tunggu kehancuran atas mereka. Satu sama lain antara mereka
saling mengutuk, memakai sutra (bagi kaum laki-laki), menjadikan para penyanyi
wanita (sebagai hiburan), meminum khamr, laki-laki mencukupkan (kebutuhan
ideologisnya) dengan sesama laki-laki, dan wanita mencukupkan dengan sesama
wanita.” (H.R. Al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-iman).
“Lelaki tidak boleh melihat aurat
lelaki, perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan. Lelaki tidak boleh
berkumpul dengan lelaki dalam satu kain(selimut). Perempuan juga tidak boleh
berkumpul dengan perempuan lain dalam satu kain.” (H.R. Imam Ahmad, Muslim, Abu
Dawud dan Tamidzi).
Keempat, berkitan dengan
ideologis. Agak lucu memang ketika ada usulan untuk mempidanakan pelaku zina
dan LGBT dianggap sebagai misi ideologis agama tertentu yang dalam hal ini
adalah Islam. Justru yang terjadi sekarang ini adalah telah terjadi pertarungan
dua ideologi antara ideologi yang mendukung dan ideologi yang menolak zina
maupun LGBT.
Pembiaran dan dukungan terhadap
zina dan LGBT yang terus merebak diakibatkan salah satunya karena tidak adanya
aturan hukum, maka hal itu juga bisa dikatakan sebagai bentuk ideologi
tertentu. Kabar terakhir yang saya dengar, bahwa ada salah satu agama yang
“menghalalkan” perbuatan ini. Namun saya tidak berani memastikan apakah
pernyataan itu benar dan saya berharap semoga semuanya salah. Kalau memang
demikian, pertanyaannya, mengapa hanya Islam yang dituduh sebagai bentuk
pemaksaan agama?
Dikatakan LGBT sebagai bentuk ideologis
dengan argumen bahwa disadari atau tidak, telah terjadi penyebaran paham ini
secara massif. Telah banyak terbentuk komunitas-komunitas semacam ini, baik
secara langsung di masyarakat ataupun melalui media sosial. Belum lagi,
keberadaan aktivis-aktivis gerakan ini juga telah mengemuka dan terus
bergerilya. Mereka tak lagi malu atau takut ketika harus menampakkan wajahnya
di layar televisi. Kalaupun tidak mau dikatakan sebagai ideologi, maka gerakan
ini bisa dikatakan sebagai sebuah misi kelompok tertentu yang juga bertentangan
dengan misi Islam.
Begitupun dengan perbuatan zina yang
nampaknya telah menjadi barang murahan di masyarakat yang mayorias umat Islam
ini. Tempat-tempat seperti lokalisasi, Tempat Hiburan Malam (THM), diskotik,
penyedia tempat PSK bermodus tempat pijat dan sebagainya, sebagian tumbuh
mengakar di Indonesia. Semuanya terjadi karena tidak ada larangan tegas yang
ditegakkan. Tentu saja, bagi mereka yang tak memiliki keimanan dan pola fikir
yang sama, tentulah akan sangat mendukung dengan perbuatan ini bahkan
memperjuangkannya atas nama kebebasan dan hak asasi.
Keempat, sebagaimana lazimnya
hukum yang dibuat untuk mengatur dan menertibkan masyarakat, maka diperlukan
kepastian hukum dalam hal zina dan LGBT ini. Jika zina dan LGBT sebagai
perbuatan melawan hukum, maka harus dibuat kejelasan hukumnya. Jikalau tidak dibuat
aturah hukum, maka secara tidak langsung hal tersebut sebagai bentuk pelegalan.
Konsekuensi dari pelegalan ini adalah terjadinya “bentrok” di masyarakat.
Masalah inipun tidak bisa dianggap remeh karena sangat bertentangan dengan
norma dan nilai di masyarakat di Indonesia.
Masyarakat yang masih memegang
nilai dan norma yang kuat, ketika dihadapkan pada situasi terjadinya perbuatan
menyimpang ini, maka hukum kebiasaanlah yang bertindak. Apa fungsi hukum
jikalau hukum tak resmi yang pada akhirnya dipilih masyarakat. Dalam hal ini,
hukum akan benar-benar kehilangan ruhnya.
Kelima, menyangkut masalah suara
mayoritas dan minoritas. Adanya upaya untuk membuat aturan hukum terkait pelaku
zina dan LGBT, yang kemudian disinyalir sebagai bentuk pemaksaan kehendak
kelompok mayoritas, saya kira ini pemikiran terlalu kekanak-kanakan. Bukankah
aturan idealnya dibuat untuk kepentingan orang banyak yang tidak selalu terkait
jumlah pendukung atau penolaknya. Selama hukum itu adalah hukum yang sesuai
koridor, maka harus dirumuskan dan dilaksanakan.
Lagipula, sangat aneh jikalau kita mempermasalahan mayoritas dan minoritas di negara yang menganut
demokrasi ini. Bukankah demokrasi sendiri berpacu pada suara mayoritas?
Pembuatan undang-undang, seleksi petinggi negara (Panglima TNI, Kapolri dan
lain-lain) bukankah berdasarkan suara terbanyak? Bukankah pemilihan kepala
daerah hingga kepala negara sekalipun juga bergantung pada suara mayoritas.
Demokrasi sendiri tidak
mentoleransi meski terjadi perbedaan tipis antara jumlah suara yang mendukung
dan tidak mendukung. Lantas mengapa kita harus mempermasalahkan mayoritas dan
minoritas? Kalau kita mempermasalahkan hak-hak minoritas, harusnya sejak awal
kita juga mempermasalahkan demokrasi yang kita anut.
Terakhir adalah negara yang ikut
campur hingga ke dalam “kamar”. Hadirnya negara dalam setiap kehidupan
semata-mata untuk melindungi dan memastikan rakyatnya bisa hidup dengan nyaman
dan damai. Terlebih ketika suatu negara menyepakati bahwa mereka mempercayai keberadaan
Tuhan, konsekuensinya adalah menjalankan aturan-aturan dari Tuhan, salah
satunya aturan antara hubungan laki-laki dan perempuan.
Negara dalam hal ini diwakili
oleh pemerintah dapat masuk ke ranah apapun selama dalam koridor yang
ditentukan. Tidak ada istilah kekuasaan yang berlebihan dalam hal ini. Apalagi
jika itu menyangkut permasalahan masyarakat dan harus segera diatasi.
Pemerintah yang tidak mau mengurusi masalah “kamar-kamar” rakyatnya yang
kemudian itu diterjemahkan dengan pembiaran (pelegalan) zina dan LGBT, maka
pemerintah harus siap menerima kekacauan di masyarakat.
Bagi mereka yang tidak setuju
pemerintah mengatur urusan “kamar” rakyatnya, maka fikirkanlah hal ini; Jika
pemerintah tak boleh masuk ke dalam “Kamar” tiap rakyatnya, maka jangan
salahkan pemerintah jika tak memasuki “Dapur” rakyatnya. Wallahu a’lam
bisshawab.
Banjarmasin, Desember 2017
Ditulis dalam kegetiran akan
nasib bangsa
sumber gambar : nu.or.id