September 2017 - Podium.com

Rabu, 13 September 2017

Menyusuri Jejak Bahalap

September 13, 2017 0
Menyusuri Jejak Bahalap
Mendengar nama Marabahan, mungkin akan membuat sebagian orang mengernyitkan dahinya karena merasa asing dengan nama itu. Memang, Marabahan tidak terkenal seperti kota Banjarmasin yang dikenal dengan Pasar Terapung atau Patung Bekantannya yang berdiri dengan megahnya di tepian Sungai Martapura. Juga tidak setenar kota Banjarbaru yang belakangan ini dikenal dengan pesona Danau Seran dan Danau Caraminnya.

Secara administratif, Marabahan merupakan salah satu kecamatan dari total tujuh belas kecamatan yang masuk dalam Kabupaten Barito Kuala dan sekaligus menjadi ibu kotanya. Kabupaten Barito Kuala atau Batola dengan motonya “Ije Jela”, dikenal sebagai daerah lumbung padi di Kalimantan Selatan karena memang memiliki lahan yang cukup luas dan mendukung untuk pengembangan sektor pertanian. Tidak mengherankan jika banyak penduduknya bermata pencarian sebagai petani.
“Bahalap” merupakan semboyan dari kota yang terletak paling Barat Kalimantan Selatan ini. Kata Bahalap diambil dari bahasa Bakumpai yang berarti cantik. Selain itu kata “Bahalap” juga memiliki singkatan yaitu Barasih, Harum, Langkar dan Pantas atau dalam Bahasa Indonesia berarti Bersih, Harum, Cantik dan Pantas. Komposisi masyarakat  Marabahan didominasi oleh suku Bakumpai dan Suku Banjar. Selain itu juga ada suku-suku lainnya yang hidup berdampingan hingga sekarang.

Marabahan lebih dikenal khalayak luas setelah berdirinya Jembatan Rumpiang yang menghubungkan Kecamatan Marabahan dengan Kecamatan Cerbon yang merupakan jalur utama menuju Kota Banjarmasin. Jembatan yang diresmikan pada tanggal 25 April 2008 oleh Presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono ini sekarang menjadi jembatan yang memiliki fungsi vital bagi kehidupan masyarakat. Sebelum ada Jembatan Rumpiang, masyarakat yang ingin pergi ke Banjarmasin atau sebaliknya, harus menumpangi kapal penyeberangan terlebih dahulu.

Jembatan Rumpiang memiliki total panjang bentang 753 meter dengan bentang utama sepanjang 200 meter. Konstruksi jembatan yang sangat megah dan menyerupai jembatan terkenal dunia yakni Jembatan Sydney Harbour yang ada di Kota Sydney Australia ini tentunya menjadi kebanggan masyarakat Marabahan. Di bawah jembatan ini terdapat Sungai Barito yang sangat lebar dan sekaligus menjadi lalu lintas dari kapal-kapal pengangkut batu bara. Di tepiannya dapat ditemui rumah-rumah sederhana masyarakat yang menghadap langsung ke arah sungai beserta keramba-keramba apung pembudidayaan perikanan. Sementara dari atas jembatan, kita dapat melihat hamparan areal persawahan, hutan yang menghijau bahkan pegunungan Meratus yang terlihat samar ditutupi kabut tipis ketika pagi.

Selain Jembatan Rumpiang, Marabahan juga dikenal dengan wisata religinya. Terdapat sebuah komplek pemakaman atau yang biasa disebut masyarakat dengan “Kubah”. Di Kubah ini terdapat makam Datuk Abdussamad yang merupakan cucu dari ulama termahsyur di tanah Kalimantan yang namanya begitu harum hingga menembus batas-batas negara, Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau yang lebih dikenal dengan Datu Kalampayan.

Datuk Abdussamad adalah ulama yang sangat berpengaruh terhadap Islamisasi masyarakat pesisir Sungai Barito. Hal itu terbukti karena sampai sekarang masyarakat pesisir sungai didominasi oleh umat muslim. Beliau adalah orang yang sangat dicintai oleh masyarakat. Tak heran jika makam beliau selalu didatangi oleh para peziarah baik yang berasal dari dalam ataupun luar kabupaten hingga luar provinsi.

Tidak hanya makam Datuk Abdussamad, di Kubah juga terdapat makam-makam dari keturunan beliau, ulama ataupun tokoh penting lainnya seperti makam H.Muhammad Jaferi, K.H. Ahmad Sibawaihi, H. Abdussamad Sulaiman HB,  Panglima Wangkang, dan lain-lain.
Adapun jika ingin bersantai, maka kita bisa mendatangi siring yang berlokasi di Jalan Pangeran Antasari Marabahan. Lokasi ini cukup strategis karena disini juga terdapat rumah dinas dan kantor Bupati Barito Kuala, panggung terbuka, dermaga, Taman Mini Surya Lestari, kantor pos serta salah satu bank nasional. Tempat ini sangatlah menarik karena berhadapan langsung dengan Sungai Barito sehingga kita bisa menikmati deburan angin yang berhembus sambil menyaksikan lalu lalang kelotok-perahu kecil bermesin, speed boat hingga kapal tongkang batu bara. 

Memang tak banyak tempat-tempat menarik yang ada di Marabahan. Jangan berharap bisa menemukan pantai, danau, gunung ataupun wisata buatan lainnya. Hanya saja, tempat ini menyuguhkan keramahtamahan penduduknya yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, udara segar dari hutan-hutan Galam serta gemericik air sungai yang mengalir hingga ke jantung kota. Juga tak banyak cerita yang mampu dituliskan untuk kota kecil ini. Meski demikian, akan tetap ada cerita-cerita lain yang didapat bagi masyarakatnya ataupun bagi mereka yang mengunjungi Kota Bahalap ini.

Note: Artikel ini menjadi juara 1 pada Lomba Menulis Artikel yang diselenggarakan LPM Lentera Universitas Islam Kalimantan (Uniska) dalam rangka Pekan Jurnalistik 2017




Kamis, 07 September 2017

Sebuah Tanya: First Travel Lebih Keji, Kenapa Ahok Yang di Bui?

September 07, 2017 0
Sebuah Tanya: First Travel Lebih Keji, Kenapa Ahok Yang di Bui?

Tergelitik ketika ada beberapa orang yang barangkali sejak kemunculan Aksi Bela Islam sudah merasa “Kepanasan”, kemudian menuliskan sesuatu yang agak “ngawur” setelahnya. Mereka mengait-ngaitkan aksi tersebut dengan kasus First Travel yang sekarang ini heboh bukan main. Bahkan, hampir setiap hari media cetak ataupun online memberitakan tentang kasus tersebut.

Dalam pandangannya, mereka mengeluhkan mengapa seorang pejabat yang berinisial BTP harus didemo dengan jumlah massa yang luar biasa dahsyat dan di luar perkiraan manusia normal. Padahal BTP adalah pejabat yang sangat pro rakyat, pekerja keras, tegas dan revolusioner. Pernyataan yang dikerluarkan BTP pun sebenarnya hanya melawan kampanye-kampanye agama yang menyerang dirinya. Lantas, mengapa kasus First Travel yang merupakan korupsi besar-besaran dana umat tidak didemo.

Berbicara kasus First Travel, memang kasus ini adalah masalah yang amat mengejutkan sekaligus memilukan. Bagaimana mungkin sepasang suami isteri bisa bekerjasama dengan baik dan seolah tak merasa bersalah melakukan perbuatan yang amat keji dan melukai hati puluhan ribu orang. Banyak dugaan pula yang berkembang bahwa kehidupan glamor pasangan tersebut berasal dari uang nasabahnya sendiri.

(liputan6.com)

Saya sendiri marah dengan perbuatan mereka itu. Terlebih ketika saya menyaksikan langsung bagaimana mewahnya sebuah rumah yang dihuni suami isteri tersebut. Waktu itu kebetulan ada sebuah acara di televisi yang menayangkan dan memperincikan aset-aset kekayaan pelaku. Saya tak habis fikir, mengapa mereka bisa senekat itu merampas dana haji. Mencari uang untuk berhaji tentu tak semua orang gampang meraihnya. Bahkan ada yang harus menabung puluhan tahun agar terkumpul uang berhaji. Sekarang, uang mereka lenyap dan tak tahu kemana rimbanya. Bisa kita bayangkan sendiri bagaimana perasaan para nasabahnya.

Menindaklanjuti mereka yang tadi kebakaran jenggot dengan aksi-aksi demo tersebut, yang bahkan menyebut 411 dan 212-nama Aksi Bela Islam waktu itu- sebagai nomor togel, perlu saya jelaskan perbedaan kedua kasus ini. 

 (news.okezon.com)
Pertama, kedua kasus ini memiliki akar masalah yang berbeda. Jika BTP melakukan penistaan agama di depan umum dan semua bukti sudah jelas, berbeda dengan First Travel yang tidak terkait dengan penistaan agama. Memang benar yang para pelaku First Travel lakukan adalah tindak kejahatan luar biasa, namun tidak bermaksud menghina, menjelekkan atau menyerang langsung pada suatu agama. Kasus mereka lebih pada kerakusan dan gaya hidup yang tidak dibenarkan dalam Islam (hedonis).

Kedua, BTP merupakan seorang kepala daerah. Tentu sangat berbeda dengan pelaku First Travel yang mungkin hanya diketahui oleh para nasabahnya dan sebagian masyarakat. Tindak tanduk seorang kepala daerah tentu tak boleh sembarangan terutama dalam hal ucapan karena ia merupakan cerminan dari masyarakatnya. Meskipun ia bagus dalam kepemimpinan namun jangan dilupakan esensi dari seorang pemimpin masyarakat. Ingat pepatah yang mengatakan bahwa lidah lebih tajam dari pedang.

Saya tahu, di luar sana ada banyak sekali orang-orang yang menghina Islam secara terang-terangan, akan tetapi mereka “bukan siapa-siapa”. Jika semua penista/penghina agama tersebut harus di demo, barangkali setiap hari akan dihiasi dengan aksi demo. Tentu hal ini tidak mungkin dan ingin kita hindari. Adanya kepala daerah yang menistakan agama tertentu, dikhawatirkan jika kepala daerah tersebut akan berbuat diskriminasi dan intimidasi kepada agama tertentu.

Ketiga, lambannya pihak aparat penegak hukum memproses masalah BTP yang krusial ini sehingga yang muncul ke permukaan adalah opini bahwa pihak penegak hukum terkesan melindungi pelaku. Hal ini semakin memperkeruh suasana. Puncaknya ketika Aksi Bela Islam 212, barulah pihak kepolisian memberikan kepastian proses hukum. Jika seandainya masalah ini direspon dengan baik ketika di awal, barangkali tak akan sebesar ini. Bandingkan dengan pelaku First Travel yang tak perlu menunggu lama untuk ditindaklanjuti bahkan dilakukan penangkapan dan penyitaan.

Keempat, pernyataan yang mengatakan bahwa BTP didemo akibat perbedaan agama, saya kira tak ada salahnya. Hal ini juga menjadi salah satu penyebabnya. Saya berikan analogi sederhana. Jika ada seorang warga negara Indonesia yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara miskin, bodoh dan terkebelakang. Apa yang kita rasakan?. Dan bagaimana jika pernyataan itu keluar dari mulut seorang warga negara lain dan disebarkan ke ranah publik?. Saya yakin Anda akan memiliki tingkat kekesalan yang berbeda.

Kelima, adanya agenda politik yang komplek. Tidak bisa ditampik bahwa kehadiran unsur politis dan aktor-aktornya turut berkontribusi terhadap kasus BTP. Siapa dan apa yang telah dilakukan, tentunya hanya mereka saja yang mengetahui. Akan tetapi, tetap tidak bisa divonis bahwa aksi demonstrasi tersebut digerakkan oleh politik semata. Masih banyak orang-orang yang datang karena merasa terpanggil dan mampu secara fisik. Lalu bagaimana dengan First Travel. Apakah ada unsur politik disana?. Kalaupun ada, lalu politik macam apa yang menghampiri mereka?. Apakah pelakunya ingin mencalon kepala daerah? sepertinya tidak.

Tentu saja, asap tak akan muncul jika tak ada api. Asap yang besar adalah hasil dari api yang juga besar. Begitupun dengan aksi demonstrasi yang besar, terjadi akibat adanya rentetan permasalahan yang dibiarkan kemudian terakumulasi dengan penyebab-penyebab lainnya. Selain itu, tidak adil jika kita membandingkan sebuah kasus dengan kasus lainnya yang memiliki level berbeda. So, jadilah orang yang bijak. Pahami sebelum bertindak. Wallahu a’lam bisshawab.
 



Sabtu, 02 September 2017

Akankah Ada "Mata-Mata" Selanjutnya

September 02, 2017 0
Akankah Ada "Mata-Mata" Selanjutnya

Benar-benar kaget waktu itu ketika saya membaca sebuah berita di media online. Dalam berita itu dikatakan bahwa program acara unggulan Mata Najwa yang biasa menghiasi layar kaca Metro TV, akan segera berakhir. Tak hanya itu, yang tak kalah mengejutkan adalah keputusan Najwa Shihab selaku pembawa acara atau yang biasa ia sebut sebagai Tuan Rumah Mata Najwa, juga akan mengundurkan diri dari dunia reporter.

Tak mau langsung percaya, saya mencoba untuk mencari referensi lain terkait berita tersebut. Saya bahkan mengecek langsung akun instagram Najwa Shihab. Setelah melalui proses “tabayyun” itu, ternyata memang benar semua kabar tersebut. Sebagai salah satu penggemar acara Mata Najwa, tentu saya merasa kehilangan. Satu lagi acara menghibur sekaligus mendidik yang “gulung tikar” dari pertelevisian Indonesia.

Mata Najwa sendiri merupakan acara yang cukup disukai oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Acara Mata Najwa sendiri telah berumur 7 tahun sejak kemunculannya pada November 2009. Kepopuleran Mata Najwa tak terlepas dari kepiawaian dan kecerdikan Najwa Shihab yang terhitung sudah 17 tahun menjadi reporter Metro TV. Ia kerap memberikan pertanyaan-pertanyaan sulit dan tak terduga kepada para tamunya.

Ada beragam tamu yang biasa di undang ke Mata Najwa. Mulai dari kalangan masyarakat biasa, artis, anggota dewan, pakar ataupun pengamat, kepala daerah, menteri hingga presiden. Meskipun sudah menjadi rahasia umum jikalau Metro TV merupakan TV yang pro pada pemerintah, namun Mata Najwa tetap menjunjung tinggi netralitas.

Dari yang saya tahu, rasa-rasanya tak ada keberpihakan putri dari Prof. Quraisy Shihab ini dalam memandu acaranya. Hal ini tentu berkaitan erat dengan sepak terjang Najwa yang merupakan wartawan senior sehingga mutlak menjunjung tinggi netralitasnya. Baik kalangan pemerintah maupun oposisi, ketika berhadapan dengan Najwa akan dicecar dengan beragam pertanyaan yang tajam dan cerdas, terlebih bagi mereka yang menyandang predikat sebagai politisi negeri.

Daya tarik lain Mata Najwa adalah mampu menghadirkan topik perbincangan aktual bahkan yang sedang panas di masyarakat. Para tamu yang diundangpun saya kira cukup mempuni untuk hal itu. Dalam pembawaannya, Najwa selalu berhasil mengemas perbincangan agar tetap mengalir dan menghibur. Namun adakalanya perbincangan menjadi serius. Semua terlihat proporsional.


Suasana di Stadion Jember Sport Garden, Jawa Timur (metrotvnews.com)

Tak hanya berkutat dalam studio, Mata Najwa juga kerap hadir ke tempat-tempat lain seperti kampus atau On Stage. Dari sini, semakin jelas kita saksikan bahwa Mata Najwa memiliki penonton setia yang sangat banyak jumlahnya. Bagaimana tidak, salah satunya ketika Mata Najwa hadir di Stadion Jember Sport Garden Jawa Timur dengan jumlah penonton yang mencapai 35 ribu orang. Bisa dibayangkan bagaimana penuh sesaknya tempat tersebut. Hingga kemudian acara tersebut menyandang rekor MURI sebagai talk show terbanyak ditonton. Sebuah pencapaian yang luar biasa.

Salah satu yang juga saya sukai dari program Mata Najwa adalah kata-kata yang biasa disampaikan Najwa Shihab di penghujung acara, atau yang biasa disebut Catatan Najwa. Bagi saya, Catatan Najwa merupakan kumpulan kata-kata pilihan yang disusun dengan epik dan mengandung makna yang dalam dan luas. Ditambah lagi dengan kehebatan Najwa dalam membacakannya tanpa tersendat-sendat dan lugas, semakin menghipnotis para penikmat acara Mata Najwa. Catatan Najwa sekaligus menjadi ciri khas tersendiri bagi acara tersebut.


Sangat disayangkan memang ketika Mata Najwa harus mengakhiri episodenya yang sudah mencapai 511 episode. Di tengah banyaknya terpaan tayangan televisi yang kurang mendidik, justru kehadiran Mata Najwa dapat menjadi tayangan penyeimbang agar rakyat Indonesia mendapatkan tontonan yang menghibur namun penuh dengan nilai-nilai yang dapat diambil. Untuk selanjutnya, Mata Najwa akan menampilkan episode-episode sebelumnya yang dinilai penting dan berharga dengan tema Menuju Catatan Tanpa Titik.

(Instagram: @najwashihab)
Keputusan tetaplah keputusan. Saya yakin, dalam proses menetapkan keputusan tersebut, Najwa telah melewati serangkaian proses berfikir dan perenungan yang panjang. Tentu, kita tak bisa berbuat banyak apalagi harus mencampuri urusannya. Diri sendiri adalah orang yang paling tahu dan mengerti situasi yang sedang terjadi.

Berbagai macam isu yang berhembus terkait berakhirnya Mata Najwa dan keputusan “pensiun dini” Najwa, seperti bermasalah akibat episode terakhirnya dengan Novel Baswedan, Najwa yang dikabarkan akan pindah haluan ke stasiun TV lain, hingga isu bahwa Najwa akan menjadi politisi, semua itu boleh saja menghinggapi benak kita. Tetapi yang pasti, hanya Allah dan Najwa Shihab sendiri yang tahu pasti akan kemana ia selanjutnya. Sosoknya yang telah menjadi public pigure tentu akan menjadi sorotan banyak mata. Kita tunggu saja?